Indonesia adalah negara dengan pedoman "Bhineka Tunggal Ika". Kalo diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bisa kita maknai sebagai "Berbeda-beda tetapi satu jua".
Perbedaan yang ada di dalam tubuh negara Indonesia ini paling nyata bisa kita lihat dari keberagaman adat istiadat masyarakat. Selain itu, ragam suku yang mendiami wilayah Nusantara pun ada banyak sekali.
Di antara sekian banyak suku di wilayah Indonesia, barangkali suku anak dalam memiliki posisi sendiri. Ketika sebagian besar warga negara ini sudah hidup dalam modernisasi dan bantuan teknologi, suku anak dalam diketahui masih hidup seperti jaman Pra-Sejarah, berburu dan meramu.
Oleh beberapa orang, suku anak dalam disamakan dengan suku primitif. Hal ini gak jauh dari kehidupan mereka yang sederhana dan tanpa campur tangan teknologi atau modernisasi.
Sebenarnya, masih ada banyak suku di Indonesia yang hidup tersembunyi. Dan di antara sekian banyak suku itu, suku anak dalam di Jambi yang paling sering masuk dalam berita.
Ingin tahu lebih lanjut tentang suku yang masih hidup berpindah tempat ini? Scrolling aja, kuy.
Muasal suku anak dalam Jambi
Sebenarnya, peneliti belum menemukan titik terang mengenai asal suku anak dalam. Pun banyak dari ilmuwan yang belum memahami, bagaimana bisa suku ini terisolasi dari peradaban dan hidup dalam lingkungan yang primitif.
Namun, menurut sebuah tulisan ilmiah yang dimuat oleh BMT Departemen Sosial tahun 1988, disebutkan bahwa suku anak dalam memiliki kaitan dengan Kerajaan Jambi. Dalam tulisan itu juga disebutkan kalo mereka adalah kelompok prajurit yang dulunya dikirim untuk perang melawan Kerajaan Tanjung Jabung.
Di dalam tulisan itu, peneliti pun memaparkan juga fakta lain. Dituliskan kalo Raja Pagar Ruyung pernah mengirimkan pasukan yang menyanggupi permintaannya untuk melawan Kerajaan Jambi. Namun, hingga batas waktu yang sudah ditetapkan, pasukan itu tak pernah kembali.
Pasalnya, dalam perjalanan, para prajurit tersesat di hutan. Merasa terlalu malu untuk kembali tanpa hasil, mereka pun memutuskan untuk tinggal dan menyepi di hutan. Lama-kelamaan, mereka pun membentuk kebudayaan sendiri dan disebut sebagai Suku Anak Dalam.
Selalu berpindah
Sebagai masyarakat yang hidup di hutan, bisa dibilang kalo suku anak dalam hidup secara nomaden. Maksudnya, mereka gak pernah menetap di satu tempat dalam jangka waktu yang lama.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka selalu berpindah tempat. Mencari lokasi yang menyediakan kebutuhan hidup, seperti buah dan bahan makanan. Biasanya, hal ini mereka lakukan saat pergantian musim, mengingat jumlah hewan maupun buah akan berkurang dalam jumlah banyak pada musim ini.
Akibat pembalakan liar
Sebagai suku primitif yang tinggal di pedalaman, hutan memiliki nilai yang sangat penting bagi suku anak dalam. Bagi mereka, belantara adalah rumah yang tepat dan sanggup melindungi diri. Dalam pandangannya, semua hutan dianggap sebagai milik suku dan boleh dimanfaatkan untuk kepentingan adat.
Pemahaman ini bertahan hingga ratusan tahun. Hingga akhirnya, saat suku anak dalam mulai berinteraksi dengan masyarakat yang lebih modern, mereka pun mulai belajar bagaimana caranya berladang.
Diperkuat dengan tindak pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahaan besar, hal ini memaksa suku anak dalam untuk beradaptasi dengan kehidupan modern.
Kini, memang belum semua suku anak dalam sudah hidup sesuai peradaban kita. Kita pun juga perlu memberikan apresiasi dan dukungan terhadap pemerintah yang gak melupakan nasib mereka.
Diketahui, setelah komunikasi yang intens dijalin pemerintah dengan suku anak dalam, dua di antaranya sekarang sudah berhasil terdaftar sebagai Tamtama Tentara Republik Indonesia. Prestasi, nih!