Pada 1 Desember 1999 lalu, Theys Hiyo Eluay, salah satu pemimpin Papua kembali menyerukan rakyat Papua untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Kemudian dua bulan setelah dilantik menjadi Presiden RI, Gus Dur segera menangani Papua dengan misi awal mengembalikan rasa percaya Papua terhadap negara.
Langkah ini diambil sebagai cara agar Papua tak perlu lepas dari Indonesia.
Manufer Gus Dur untuk meredam konflik ini dimulai dengan menginap di Jayapura pada 31 Desember 1998. Dia berdalih ingin "melihat matahari terbit pada hari pertama milenium kedua di ujung timur provinsi Indonesia."
Malam harinya, Gus Dur menemui pemimpin adat dan agama serta perwakilan masyarakat Papua. Kala itu, kelompok yang pro-otonomi dan pro-kemerdekaan relatif seimbang.
Gus Dur kemudian mengumumkan penggantian nama dari Irian Jaya menjadi Papua. Gus Dur juga memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora yang sempat dianggap simbol separatisme di masa Orde Baru.
Tapi Gus Dur memberi syarat untuk pengibaran bendera itu. Posisi bendera Bintang Kejora harus berada di bawah bendera Merah Putih.
Gus Dur berpandangan bahwa bendera-bendera itu bisa diakui sebagai simbol ekspresi kultural.
Setelah itu, Gus Dur pun melepaskan 72 tahanan Papua. Gus Dur juga mendorong RUU Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang baru disahkan tak lama setelah Gus Dur lengser dari jabatannya.
Nah, untuk mengatasi situasi yang baru-baru ini terjadi, langkah cerdas Gus Dur pun bisa dilakukan kembali. Papua harus dikembalikan pada garis UU Otsus, mengedepankan pendekatan dialog, dan melakukan penghentian rasisme.