Ada cerita unik dengan salah satu mantan mahasiswa IPB nih. Pria bernama Muhammad Kasim Arifin berjuang gigih demi mendapatkan ijazah. Akan tetapi, caranya sungguh beda. Bisa jadi, jauh lebih baik daripada sekedar skripsi.
Melansir Grid.id, aktivis bersandal jepit ini sempat menghilang selam 15 tahun dari kampus. Alasannya adalah karena dia larut dengan masyarakat Waimital di Pulau Seram, Maluku. Nah, hal itu terjadi awalnya waktu Program Pengerahan Mahasiswa atau KKN apda 1964. Kasim Arifin adalah mahasiswa Fakultas Pertanian di IPB saat itu.
Dia nggak sendirian waktu KKN. Ada teman-teman lainnya.
Nah, saat itu diperkenalkan program Panca Usaha Tani. Kasim sangat mendalami tugasnya. Dia bener-bener mengabdi dengan mengajarkan petani bagaimana meningkatkan hasil tanaman dan ternak.
Lalu, waktu teman-teman satu kelompoknya pulang ke kampus dari program KKN, Kasim Arifin malah nggak mau pulang. Dia lebih milih tinggal di Waimital.
Menariknya, Kasim mengbdi dengan membuka jalan desa, membangun sawah, membuat irigasi, dan lain-lainnya. Itu dilakukannya tanpa bantuan dana dari pemerintah. Hebat banget ya!
Karena berjasa bagi desa, Kasim pun kerap disapa sebagai Antua oleh masyarakat di sana. Itu adalah sebutan untuk orang yang dihormati di Maluku.
Kasim terinspirasi dan hatinya terketuk untuk membantu dengan masyarakat. Sehari-harinya, dia berjalan 20 km untuk ke sawah dan mempraktikan pengetahuan yang didapat dari perkuliahan. Selain itu, dia juga mendorong petani untuk mandiri. Sangat peduli sama para petani deh.
Suatu hari, setelah 15 tahun mengabdi di desa itu, Kasim Arifin dibujuk banyak pihak untuk pulang dan menyelesaikan perkuliahannya. Teman, orang tua, sampai rektor IPB membujuknya, tapi malah nggak dipedulikan.
Tetapi, berkat sahabatnya, Saleh Widodo, Kasim akhirnya mau dan mendapat gelar insinyur pertanian istimewa. Istimewa gengs, soalnya bukan karena skripsi atau ujian kampus. Melainkan, berkat pengabdiannya selama 15 tahun tanpa pamrih di Waimital.
Ia rela berjalan kaki berkilo-kilo meter masuk ke hutan dan perkampungan. Pria kelahiran 18 April 1938 tersebut nggak terlihat lelah.
Kasim bahkan melakukan perhitungan laju kerusakan hutan per detik yang menunjukkan angka 965 meter persegi. Menurutnya, pertambahan penduduk yang rata-rata 3 juta jiwa setiap tahun malah mempercepat laju kerusakan hutan, bukan meningkatkan rehabilitasi hutan.
Saat ini, kabarnya sekarang Kasim Arifin menjadi di dosen Unsyiah, di Aceh. Dia udah menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Selain itu, dia mendapat penghargaan kalpataru berkat pengabdiannya.