Belakanan ini kasus pemerkosaan kembali menjadi isu hangat yang diperbincangkan di tanah air. Mulai dari mahasiswi yang dilecehkan oleh dosen pembingnya dan dicoret dari daftar yudisium hingga mahasiswi cantik yang dipaksa aborsi oleh mantan kekasihnya dan berakhir dengan bunuh diri di pusara sang ayah. Miris, ya!
Saat mengetahui atau mendengar kasus pemerkosaan, kita bisa mendampingi korban dan melaporkan kasusnya ke pihak berwajib. Namun demikian, ada juga saksi yang memilih diam. Apa ya, alasannya? Yuk, simak ulasannya di bawah ini!
Belum lama ini, muncul kabar tidak menyenangkan dari Padang, Sumatra Barat. Dua anak di bawah umur diketahui menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Anak berusia 5 dan 7 tahun tersebut diperkosa oleh kakek, paman, kakak, serta dua orang tetangga korban. Keluarga yang seharusnya melindungi anak-anak justru menjadi pelaku kejahatan seksual yang membahayakan mereka.
Setelah diperkosa, kedua korban yang kebingungan dan ketakutan, menceritakan hal tersebut ke tetangga dan mengaku tidak berani kembali pulang ke rumah. Selanjutnya, sang tetangga melaporkannya ke Ketua RT dan kasus dilanjutkan ke polisi.
Sementara itu, berdasarkan keterangan tetangga, ibu korban tidak tinggal di rumah tersebut. Namun, ia sempat datang ke Polresta setelah mengetahui kasus pemerkosaan yang dialami anaknya. Sayangnya, menurut kesaksian tetangga tersebut, sang ibu sempat menghalangi warga yang ingin melaporkan kejadian tersebut ke polisi.
"Dia menganggap anaknya mengada-ngada agar salah satu pelaku yang merupakan ayah si ibu tidak ditahan. Dia malah bilang ke saya kalau anaknya itu ngelantur karena pernah jatuh dari lantai dua rumahnya," papar saksi, dilansir dari HaluanPadang.com, Senin (6/12/2021).
Atas hal tersebut, pihak kepolisian juga mengatakan bahwa sang ibu sempat menolak memberikan keterangan kepada polisi, padahal kedua anaknya menjadi korban dalam kasus ini.
"Kami sudah melakukan pemanggilan terhadap ibu korban. Tapi ibu korban menolak memberikan keterangan," kata Kasat Reskrim Polresta Padang, Rico Fernanda seperti dikutip dari langgam.id, pada Senin (06/12/2021).
Respons Seseorang ketika Mendengar Kasus Pemerkosaan
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa respons setiap orang saat mendengar atau mengetahui kasus pemerkosaan bisa sangat berbeda. Menurut Risky Adinda, M.Psi, psikolog klinis dari Biro Psikologi Sadari, respons yang muncul umumnya emosional, seperti terkejut, marah, atau sedih terlebih dulu.
"Terkejut akibat mendengar peristiwa negatif yang tidak terduga, merasa marah pada pelaku atau keadaan, hingga merasa sedih dan bersalah karena merasa tidak dapat melindungi korban. Wajar juga jika seseorang kemudian menjadi merasa kebingungan dan khawatir akan kondisi korban. Mereka juga bingung bagaimana cara untuk mendampingi atau memberikan keamanan pada korban," papar psikolog yang biasa dipanggil Dinda ini.
Selain respons emosional, ia menambahkan, biasanya muncul pula respons tingkah laku berupa tindakan-tindakan yang berupaya untuk mendampingi dan melindungi korban, seperti mengadvokasikan kasus tersebut ke jalur hukum.
Namun, karena kasus perkosaan merupakan situasi yang dapat memicu stres pada manusia, maka proses psikologis yang terjadi pada setiap orang juga berbeda-beda. Biasanya, ketika menghadapi stres (dalam kasus ini mendengar tentang berita perkosaan), diri kita secara otomatis akan melakukan penilaian seberapa besar tingkat stres yang muncul dari situasi ini dan seberapa mampu kita akan mengelolanya.
Dalam ilmu psikologi, respons yang dapat muncul ketika menghadapi situasi penuh stres adalah fight (melawan–ketika kita merasa mampu mengelola masalahnya), flight (kabur–karena memandang masalah dapat dikelola dengan melarikan diri darinya), atau freeze (berdiam diri–diri merasa tidak mampu mengelola masalahnya dengan cara apa pun, baik dengan melawan maupun melarikan diri).
Mengapa setiap orang bisa memiliki reaksi yang berbeda-beda seperti fight, flight, atau freeze? Dinda mengatakan, itu bisa dipengaruhi oleh faktor situasinya sendiri (seberapa serius masalahnya, seberapa besar ancaman yang dikhawatirkan akan timbul pada korban atau diri kita yang mengetahui peristiwanya), faktor kemampuan diri (seberapa paham kita akan perkosaan yg dialami korban, seberapa paham kita akan advokasi hukum yang dapat ditempuh, seberapa mampu kita untuk mendampingi dan membantu korban baik secara emosional, material, maupun hukum), dan juga faktor lingkungan (seperti apa sikap lingkungan terhadap kasus perkosaan, apakah kita menilai lingkungan sekitar dapat melindungi korban atau tidak, atau apakah lingkungan mendukung seseorang untuk mendampingi dan membantu korban perkosaan).