Hasil autopsi terhadap Juliana Marins, turis asal Brasil yang meninggal setelah jatuh dari Gunung Rinjani, mengungkapkan fakta mengejutkan yang memicu diskusi hangat di kalangan netizen internasional.
Wanita berusia 26 tahun ini diketahui meninggal akibat benturan keras yang mengakibatkan kerusakan organ dan pendarahan internal parah, hanya dalam waktu kurang dari 20 menit setelah insiden terjadi.
Saat itu, Juliana sedang mendaki bersama lima wisatawan asing lainnya dan seorang pemandu lokal ketika ia terpeleset di jalur dekat kawah Gunung Rinjani, Lombok, pada 21 Juni 2025.
Ia sempat selamat setelah terjatuh sejauh 150 meter dan terlihat meminta pertolongan. Namun, upaya penyelamatan terkendala oleh kabut tebal dan kondisi medan yang ekstrem.
Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan sejauh 600 meter dari lokasi jatuh pertama dengan bantuan drone thermal. Proses autopsi dilakukan di RS Bali Mandara, sekitar 150 kilometer dari tempat kejadian.
“Korban mengalami trauma berat di hampir seluruh tubuhnya, terutama bagian punggung dan kaki,” jelas Dr. Ida Bagus Putu Alit.
Ia juga menegaskan bahwa kematian Juliana tidak disebabkan oleh hipotermia, karena tidak ditemukan tanda-tanda pembekuan jaringan.
Pihak keluarga menyatakan bahwa jika tim penyelamat tiba dalam tujuh jam setelah kejadian, nyawa Juliana mungkin masih bisa diselamatkan. “Kami akan menuntut keadilan. Juliana tidak boleh dilupakan!” ujar mereka dalam wawancara dengan TV Globo.
Pernyataan ini kemudian menimbulkan perdebatan di media sosial. Beberapa netizen global membela pihak Indonesia dan menilai reaksi masyarakat Brasil terlalu berlebihan.
“Memalukan bagi pemerintah Brasil yang menjadikan kematian ini sebagai alat politik dengan menyudutkan Indonesia,” komentar seorang netizen.
“Dia jatuh sejauh 600 meter dan meninggal dalam 20 menit. Jangan mudah percaya pada propaganda pemerintah sendiri, cobalah berpikir lebih kritis,” lanjut komentar lainnya.
Seorang pendaki yang turut berkomentar menyampaikan analisis medan Rinjani.
“Sebagai pendaki jalur ekstrem, saya cek rute yang dia ambil. Ternyata dia menanjak dari 900 meter ke 3.600 meter hanya dalam dua hari,” katanya.
“Hari pertama naik 1.500 meter, hari kedua 1.200 meter. Jalur ini sangat berat dan tidak aman tanpa persiapan fisik yang matang,” tambahnya.
Kepala Basarnas NTB, Mohammad Syafii, menyatakan bahwa pihaknya sudah menjelaskan kendala operasi penyelamatan kepada keluarga korban. Cuaca yang buruk membuat penggunaan helikopter tidak memungkinkan.
Evakuasi harus dilakukan dengan berjalan kaki selama enam jam melalui medan yang sangat curam. “Kami menghadapi tantangan besar dalam operasi ini,” ujarnya.
Jenazah Juliana dipulangkan ke Brasil pada 1 Juli dan dimakamkan di Niteroi pada 4 Juli. Ayah korban, Manoel Marins, menyebut kematian anaknya sebagai bukti kegagalan sistem.
“Indonesia memang negara pariwisata, tapi kesiapan daruratnya sangat minim. Ini bentuk kelalaian terhadap keselamatan manusia,” ungkapnya.
Tragedi ini menjadi peringatan keras akan bahaya wisata ekstrem dan pentingnya peningkatan fasilitas penyelamatan di destinasi alam populer seperti Rinjani.