Sudah bukan rahasia lagi kalau mantan presiden pertama RI, Ir. Soekarno menyimpan banyak cerita misteri semasa hidupnya. Bahkan sepeninggalannya pun cerita mistis itu masih terus saja bergulir di tengah masyarakat. Apalagi kalau bukan cerita tentang benda-benda pusaka yang selama ini dekat dengan sosoknya.
Sebagai Presiden dan pernah menjadi orang nomor satu di Indonesia, Bung Karno memiliki penampilan khas yakni mengapit tongkat komando. Tongkat ini mulai dipakai Soekarno sejak 1952, tepatnya setelah peristiwa demonstrasi pada 17 Oktober 1952 silam.
Lebih lanjut, penulis buku "Soekarno, Serpihan Sejarah yang Tercecer", Roso Daras menuliskan bahwa Bung Karno memiliki tiga Tongkat Komando yang bentuknya sama. Satu tongkat yang ia bawa saat keluar negeri, satu tongkat untuk berhadapan dengan para Jenderalnya, dan satu tongkat lagi yang selalu ia bawa saat berpidato. Namun, jika harus pergi dalam keadaan mendadak dan terburu-buru, yang sering ia bawa adalah tongkat terakhir yakni yang dibawa saat berpidato.
Dijelaskan pula oleh Roso, kayu yang dibuat sebagai tongkat bukan sembarang kayu, melainkan kayu pucang kalak. Apa itu pucang kalak? Pucang adalah nama jenis kayu, sedangkan Kalak adalah nama tempat di selatan Ponorogo, utara Pacitan, Jawa Timur. Di pegunungan Kalak terdapat tempat persemayaman keramat. Di atas persemayaman itulah tumbuh pohon pucang.
Sebenarnya ada begitu banyak jenis kayu pucang, tetapi pucang kalak dipercaya memiliki ciri khas. Salah satu cara untuk mengetes keaslian kayu pucang kalak, adalah dengan memegang tongkat tadi di atas permukaan air.
Jika bayangan di dalam air menyerupai seekor ular yang sedang berenang, maka berarti kayu pucang kalak itu asli. Tetapi jika yang tampak dalam bayangan air adalah bentuk kayu, itu artinya bukan pucang kalak. Pucang biasa.
Sejarah awal tongkat komando Bung Karno adalah pada suatu malam, Soekarno didatangi seseorang dengan membawa balok kayu pohon Pucang Kalak yang ia potong dengan tangannya, balok itu kemudian diserahkan kepada Bung Karno.
"Untuk menghadapi para Jenderal!" kata orang itu. Kemudian Bung Karno menyuruh salah seorang seniman Yogyakarta untuk membuat kayu itu menjadi Tongkat Komando.
Kendati dipercaya bertuah, Bung Karno pernah bercerita kepada penulis biografinya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams. Ia berkata bahwa tongkat komandonya itu tidak memiliki daya sakti atau daya linuwih (kelebihan).