Generasi Z, yang tumbuh di era digital, dikenal mudah merasa bosan. Mereka terbiasa dengan akses informasi yang sangat cepat dan instan sejak kecil, cukup dengan scrolling atau klik, berbagai hiburan dan pengetahuan tersedia seketika.
Akibatnya, otak mereka mengalami stimulasi berlebihan dan cenderung mencari kepuasan instan secara terus-menerus.
Kondisi ini berdampak pada rentang perhatian yang memendek. Konten pendek seperti TikTok dan reels membuat mereka kesulitan fokus pada aktivitas jangka panjang seperti membaca buku tebal atau menyelesaikan proyek. Ketika tidak langsung mendapatkan hasil atau stimulasi, rasa bosan cepat muncul.
Selain itu, media sosial memicu tekanan perfeksionisme dan perbandingan sosial. Gen Z kerap merasa tidak cukup baik saat hasil kerja mereka tak seideal yang terlihat di dunia maya. Hal ini membuat mereka cenderung menyerah lebih cepat dan beralih ke aktivitas lain yang lebih mudah memberikan kepuasan.
Meski begitu, Gen Z juga sangat peduli pada makna dan tujuan. Mereka tidak ingin melakukan sesuatu hanya karena kewajiban, melainkan ingin tahu apakah itu bermakna. Jika sebuah kegiatan terasa tidak relevan atau tidak berdampak, mereka akan mudah kehilangan minat.
Faktor terakhir adalah lingkungan yang terlalu nyaman. Teknologi memudahkan hidup, tetapi juga mengurangi tantangan. Akibatnya, saat menghadapi sesuatu yang sulit atau memerlukan proses panjang, mereka kurang memiliki daya tahan.
Namun, kebosanan ini bukan kelemahan. Dengan pemahaman dan bimbingan yang tepat, kebiasaan ini bisa diarahkan menjadi kekuatan, untuk lebih kreatif, adaptif, dan inovatif di tengah dunia yang terus berubah.