Culture Trip melaporkan bahwa ada dua penyebab New South China Mall keliatan 'berhantu'. Pertama, soal demografi dan lokasinya yang gak strategis.
Mal ini dibangun untuk menjadi mal super megah dan mewah. Tapi sayang, mal ini gak dibangun sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat Dongguan. Meski Dongguan memiliki 8 juta penduduk, rata-rata dari mereka adalah pekerja migran yang hidup sebagai buruh pabrik lokal.
Rata-rata penghasilannya sekitar 200 dollar AS per bulan, sekitar Rp2,8 juta. Mereka jelas harus melakukan pengiritan ketimbang menghabiskan uang di mal yang mewah.
Kedua, mal itu juga berlokasi di tempat yang sulit dijangkau. Wilayah mal itu dulunya adalah lahan pertanian. Jaraknya dari pusat kota sekitar 55 kilometer dan harus menggunakan bus selama 2 jam untuk tiba di sana.
Dari tempat pemberhentian bus terakhir, orang-orang masih harus jalan kaki 1 kilometer lagi. Keburu capek deh kayaknya~
Dulunya, mal ini diberi nama tanpa kata 'new' di depannya. Mal ini dibangun oleh seorang miliarder asal Kota Dongguan, Hu Guirong. Guirong memilih untuk membangun mal terbesar di dunia untuk kota kelahirannya dengan harapan agar kotanya bisa dikenal di dunia internasional.
Guirong menghabiskan dana sebesar 1,3 miliar dollar AS, atau sekitar Rp18 triliun untuk membangun mal tersebut. Guirong meminta agar desain mal ini dibagi menjadi 7 zona yang merepresentasikan kota-kota di dunia.
Biar semakin mirip dengan suasana khas Eropa, mal ini memiliki replika Arc de Triomphe setinggi 25 meter. Ada juga kanal untuk lintasan gondola kayak di Venesia gitu sepanjang 2,1 kilometer gengs~
Dua tahun setelah resmi dibuka, mal ini tetap terasa sepi. Pada Desember 2006, Guirong akhirnya menjual 50 persen sahamnya. Dan setelah lebih dari satu dekade, belum ada kemajuan berarti.