Total team 16 orang
Ilustrasi (Tribunnews.com)
Saat itu tim ekspedisi yang berjumlah total 16 orang itu dipimpin oleh personel RPKAD Kapten Feisal Tanjung sebagai Komandan Tim dan Lettu Sintong Panjaitan sebagai Perwira Operasi.
Mereka melakukan ekspedisi di sebuah lembah yang disebut dengan Lembah X yang ada di lereng gunung Jaya Wijaya gengs. Dan tempat itu belum dijamah manusia kala itu.
Pasalnya, mereka harus mendarat di daerah sangat terpencil yang konon didiami suku terasing yang masih suka memakan manusia.
Dengan perhitungan seperti itu maka aksi penerjunan termasuk misi nekat.
Apalagi meski bersenjata lengkap para personel RPKAD dan Kodam Cenderawasih dilarang melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terpaksa.
Itu pun merupakan tembakan yang dilepaskan ke atas untuk tujuan menakut-nakuti.
Saat itu Lettu Sintong yang seharusnya mendarat di padang ilalang yang jauh dari perkampungan suku terasing malah mendarat di tengah kampung.
Ia langsung dikepung oleh warga yang hanya mengenakan koteka sambil mengacungkan tombak, panah, dan kapak batu.
Sadar sedang menghadapi bahaya dan masih terbayang oleh suku ganas pemakan manusia, secara reflek Sintong memindahkan posisi senapan AK-47 di bahu ke posisi di depan dada serta mengokangnya.
Tapi Sintong terkejut ketika melihat senapan AK-47-nya ternyata tanpa magazin karena terjatuh saat terjun.
Dengan kondisi senapan AK-47-nya tanpa peluru jelas sama sekali tidak berguna jika harus menghadapi warga suku terasing yang terus memandanginya secara curiga sambil mengacungkan semua senjata tradisional itu.
Tiba-tiba Sintong melihat jika magazin tempat peluru yang jatuh berada di antara warga suku dan bahkan sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.
Di luar dugaan pemuda itu mengambil magazin dan memberikannya kepada Sintong.
Sebuah pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya, lalu memeganginya, untuk memastikan bahwa ‘manusia burung’ yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Meski diliputi oleh perasaan was-was dan awalnya merasa akan diserang dan ‘dimakan’ semua tim ekspedisi ternyata diperlakukan secara bersahabat.
Bahkan akhirnya mereka bisa berinteraksi secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa dipahami, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Seperti diduga, meski bukan merupakan suku kanibal, suku terasing di Lembah X masih sangat primitif dan sama sekali belum mengenal korek api, cermin, pisau, pakaian, apalagi kamera televisi yang bisa merekam mereka.
Warga suku Lembah X juga masih lari tunggang langgang setiap ada pesawat lewat atau sedang melaksanakan dropping logistik karena mengira sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.
Semua warga suku juga takut air dan tidak pernah mandi dan untuk minum mereka mengandalkan tanaman tebu liar.
Kebiasaan memakan tebu tiu secara tidak sengaja sekaligus berfungsi sebagai sikat gigi sehingga semua warga suku giginya tampak putih bersih.
Meski sempat mengalami musibah ketika sejumlah perahu karet yang ditumpanginya terbalik di jeram dan tim NBC kehilangan rekaman film yang sangat berharga, semua tim ekspedisi bisa pulang selamat pada akhir Desember 1969.
Bagi anggota RPKAD dan Kodam Cenderawasih ekspedisi Lembah X terbilang sukses karena menginspirasi ekspedisi berikutnya yang kemudian dikenal sebagai Ekspedisi Nusantara Jaya.
Tapi bagi kru NBC, ekspedisi itu gagal total karena telah kehilangan semua rekaman yang bernilai jutaan dollar.
Nah begitulah beberapa pengalaman misi berbahaya Kopassus saat itu, coba kalau beneran sukunya kanibal, auto ngeri....