Sebuah tradisi budaya dari pedalaman Riau, Pacu Jalur seketika mengguncang media sosial secara global. Dari anggota sepak bola eliter seperti Paris Saing-Germain (PSG) sekalipun hingga pembalap Formula 1, semua meniurkan aksi tarian energik dari anak kecil di ujung perahu kayu panjang.
Bocah bernama Rayyan Arkan Dikha (11) itu pun menjadi sorotan karena tariannya yang dijuluki aura farming oleh warganet, membawa tradisi Pacu Jalur dikenal di seluruh dunia.
Fenomena ini menjadi bukti nyata jika budaya lokal bisa dikenal di kancah dunia berkat kehadiran internet. Tetapi di balik aksinya itu, tersimpan makna mendalam yang sudah menjadi warisan bertahun-tahun lamanya.
Sebelum aksi Dikha dikenal, apa yang dilakukanny itu merupakan tugas sakral. Di tengah hiruk pikuk gendang dan sorak para penonton di sepanjang Sungai Kuantan, sosok di ujung perahu dikenal dengan sebutan Tukang Tari.
Ia juga diberi sebutan Togak Luan atau Anak Coki. Perannya bukan sekedar menari biasa sebagai hiburan, tapi sebagai komandan yang krusial.
Posisi dan gerakannya merupakan isyarat bagi para pendayung di belakangnya. Komunikasi dari Tukang Tari menjadi penentu strategi dan ritme para tim. Kehadirannya menjadi sangat penting dalam memenangkan perlombaan.
Istilah 'aura farming; itu merupakan kata dari dunia game, yang berarti tindakan untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa unggul. Banyak warganet yang memakai istilah ini untuk menggambarkan aksinya yang begitu keren dan percaya diri.
Apa yang dilakukan oleh Dikha di Pacu Jalur merupakan fungsi tradisional serta ekspresi pribadi yang menawan. Gerakannya lincah dan penuh semangat, tidak cuma menjadi sosok penting bagi pendayung, tapi juga menjadi daya tarik masyarakat yang menyaksikannya.
Berkat aksinya, Rayyan Arkan Dikha bahkan dinobatkan menjadi duta pariwisata dan berhasil mengenalkan tradisi Pacu Jalur ke seluruh dunia.
Aksi Dikha sebagai Tukang Tari di pacu jalur (via instagram)