Kita tentu tahu bahwa tak semua obat punya khasiat yang sama pada seseorang yang sakit. Bisa jadi, sebuah obat efektif menyembuhkan penyakit si A, tapi tidak menyembuhkan si B. Padahal A dan B punya penyakit yang sama dan dapat pengobatan yang sama.
Jadi, apa yang salah? Ternyata pemberian obat itu jadi kurang tepat guna karena mengabaikan sebuah faktor penting yaitu faktor genetika.
Nah, lewat farmakogenomik, persentesai kesembuhan seseorang atas sebuah penyakit akan lebih tinggi karena pengobatan akan disesuaikan dengan genetika seseorang, bukan hanya soal diagnosisnya.
Daripada bingung, yuk langsung aja baca penjelasannya di bawah ini!
# Apa itu Farmakogenomik?
Farmakogenomik adalah gabungan antara dua bidang keilmuan yaitu Farmakologi dan genetika.
Alasan Levana Sani terjun di dunia farmakogenomik adalah karena tentu saja karena ia memang mengambil fokus studi soal genetik. Selain itu, menurut National Health Service Inggris (NHS), obat yang beredar di pasaran saat ini hanyak efektif sekitar 60% populasi.
Artinya, bisa saja sebuah obat dapat menyembuhkan atau bermanfaat bagi seseorang, tapi belum tentu untuk orang lain yang didiagnosis penyakit yang sama. Bisa saja obat tersebut malah membawa efek samping bagi si pasien. Dari ringan sampai berat atau fatal. Semua tergantung pada faktor genetika.
# Ilmu yang Mempelajari Komponen Genetik Individu
Diskusi tentang farmakogenomik bersama Levana Sani dan Gita Wirjawan (youtube.com)
Berdasarkan buku "Goodman and Gillman's The Pharmacological Basis of Therapeutics", farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh komponen genetik pada individu atau seluruh populasi yang berpengaruh pada respons tubuh terhadap sebuah obat.
Jadi, farmakoggenomik merupakan gabungan ilmu farmokologi yang mempelajari mekanisme kerja obat dengan genetika. Farmakogenomik berkaitan juga dengan farmakogenetika, yang mempelajari variasi genetik dalam menghasilkan sebuah respons terhadap obat dari sejumlah kecil varian DNA.
# Contoh Penerapan Farmakogenomik dalam Pengobatan
Bisa dikatakan, dengan ilmu farmakogenomik, kemungkinan seseorang sembuh atas sebuah penyakit lewat jalur pengobatan dan terapi jadi jauh lebih besar. Sebab dengan informasi dari genetika pasien, dokter jadi tahu sebenarnya obat apa yang efektif bisa menyembuhkan penyakit pasien.
Kita ambil contoh,
Omeprazole merupakan obat yang berguna untuk menurunkan asam lambung, agar mag berhenti. Di dalam hati, obat ini dimetabolisme oleh enzim CYP2C19. Pada buku "Goodman and Gillman's The Pharmacological Basis of Therapeutics", dikatakan bahwa pada orang-orang yang mengalami defisiensi enzim CYP2C19, mereka akan mengalami reaksi berbeda ketika meminum obat ini. Alih-alih mag berhenti, lambung malah jadi luka dan menyebabkan ulkus peptikum (ulkus lambung).
Buku buku "Goodman and Gillman's The Pharmacological Basis of Therapeutics" (amazon.com)
Contoh kasus lainnya dapat dilihat dari obat kodein, yaitu obat pereda batuk. Menurut jurnal "Current Topics in Medicinal Chemistry", pada orang-orang yang mengalami defisiensi enzim CYP2D6, meminum obat ini akan membuat efektivitas obat menurun. Hal ini membuat obat tidak bekerja secara optimal dan mengurangi manfaatnya.
Orang-orang di balik startup Nalagenetics (east.vc)