Beberapa saat kemudian, dari arah depan, tiba-tiba anjing kakekku mengeluarkan suaranya. Dia menggonggong ke arah kami seakan ada yang hendak ia tunjukkan pada kami. Kamipun segera mendekat ke arah sana untuk melihat.
Ternyata benar, kami menemukan senter milik Logi sudah tergelatak di dalam genangan air yang setinggi mata kaki. Dan ternyata pula, sekitar 5 meter di depan kami melihat ada sebuah belokan yang menuju arah samping kanan kami.
Aku bahkan sempat berteriak di dalam hati sedikit kesal. Karena aku benar-benar tidak menduga bahwa tempat yang kami lihat pintunya sangat kecil didalam hutan kebun karet itu ternyata dalamnya sangat luas. Aku bahkan sampai menekan pinggang beberapa kali dan juga mengernyitkan dahi sakin lelahnya.
Kami saling melempar pandang, bertanya-tanya arah manakah yang akan kami tuju. Karena dua jalan tersebut sama-sama terlihat sedikit mendaki. Jadi, tidak ada lumpur dan air yang tergenang di sana. Dan parahnya lagi, kami kehilangan bekas pijakan kaki makhluk tersebut.
Pada saat itu, kami hanya bergantung kepada anjing kakekku. Karena dia memiliki inating penciuman dan pendengaran yang lebih baik dari kami semua. Kamipun sepakat dengan rencana tersebut. Ternyata anjing kakekku memilih untuk terus ke depan. Lurus. Kamipun juga memilih untuk terus berjalan mengikutinya.
Sekitar 15 meter dari persimpangan jalan tersebut, tiba-tiba saja anjing kakekku itu berputar kembali ke belakang. Kami pun terdiam dan saling melirik satu sama lain. Lalu kemudian mulai memperhatikan kemanakah perginya anjing tersebut. Dan ternyata anjing tersebut berbelok ke jalan yang lain, ke jalan yang tadinya berada di sebelah kanan itu kini sudah berubah posisi menjadi posisi kiri. Iya, si hitam itu sedang mengarah ke arah sana. Kamipun bergegas segera menyusul.
Anjing itu terus berjalan ke depan, dan kamipun juga terus mengikutinya dari arah belakang. Jalan itu terus mengarah lurus dengan medan yang sedikit demi sedikit mulai beranjak naik. Sejauh ini, kami belum juga menemukan apapun.
Disini, situasinya mulai berbeda. Kami menemukan banyak sekali tulang-tulang yang tergeletak di tanah yang berdebu. Bahkan sebagian dari tulang-tulang itupun sudah banyak yang tertimbun oleh debu-debu tersebut.
Sedangkan di bagian dinding lorong terdapat banyak sekali sarang laba-laba yang menggantung. Dinding-dinding lorong terlihat lembab dan sudah tua. Menurutku dinding-dinding tersebut tidak akan mampu bertahan dalam kurung masa 5 tahun ke depan, karena kondisinya benar-benar sudah buruk sekali. Sudah banyak yang retak dan bahkan juga runtuh.
Ilustrasi (Frasa.com)
"Hey, lihat...!" Mardian tiba-tiba berseru dari arah depan memanggil kami.
"Bawa obor itu kesini, Ray" Lanjut Mardian lagi.
Semenjak Pak Mardian memegang senjata, obor itu berpindah tangan kepadaku. Aku langsung membawa obor tersebut kepadanya. Sedangkan Pak Witan masih sibuk menilik sesuatu ke arah debu-debu yang ada di lantai.
"Apakah kau melihat lubang kecil yang ada di sana? Begitu tanya Mardian kepadaku. Tangannya menunjuk ke arah depan bawah tebing-tebing sisa reruntuhan.
Aku langsung melihatnya. Namun aku tidak melihat apapun.
"Dimana? Tanyaku dengan nada yang sedikit penasaran.
"Itu... Tepat di bagian tengah tebing tersebut" Tangannya kembali mengarah ke tebing sana. Dan aku pun juga kembali mengintipnya dengan dengan lebih jelas. Bahkan Pak Witan pun juga sampai ikut memperhatikannya.
Aku masih tidak menemukan apapun. Lalu kemudian Mardian menghalang cahaya oborku dengan tangannya, kemudian tebing itu terlihat sedikit gelap. Namun ada sebuah lubang ditebing tersebut yang terlihat sedikit memancarkan cahaya. Cukup terang jika dilihat dari dalam gelap. Lubang itu berada sekitar 30 meter di depan kami, tingginya sekitar 3 meter dari tanah. Tanpa aba-aba lagi, kami semua langsung bergegas untuk melihat lubang tersebut lebih dekat.
Setelah didekati lebih dekat, akan tetapi anehnya lubang itu malah terlihat berubah-rubah. Dengan jarak yang sekitar 5 meter ini, kini lubang tersebut tidak lagi terlihat seperti lubang. Akan tetapi itu malah terlihat seperti sebuah benda yang sedikit memantulkan cahaya. Warnanya terlihat kekuningan.
Untuk menjawab pertanyaan kami, aku langsung menyuruh Mardian sedikit merunduk, lalu akupun naik ke atas pundaknya untuk melihat benda itu lebih jelas.
Ketika ku dekati benda tersebut, bukan main kagetnya aku. Ternyata benda itu adalah emas yang seukuran piring. Namun bagian lainnya masih tertancap di dalam dinding tanah lorong tersebut.
"Emas, ini emas! Begitu teriakku dengan nada panik. Mardian bahkan sampai terkejut mendengar kataku, sehingga dia sedikit bergerak dan akupun terjatuh.
Aku sedikit kesal, akan tetapi syukurlah aku tidak apa-apa. Karena tanganku sempat menahan diri. Jadi aku tidak terluka sedikitpun.
"Kamu gak bohong, kan Ray? Beneran itu emas? Mardian bertanya dengan nada yang sedikit mendesakku.
"Iya, itu emas, Mar. Dari warnanya aku sudah tahu, bahwa benda itu adalah emas!" Begitu terangku lagi
Mendengar kataku tersebut, bukan main senangnya Mardian mendengarnya. Dia bahkan sampai berlari dan mencoba untuk memanjatnya.
Ilustrasi (Pixabay.com)
"Benar, Ray, ini emas, hahaha.." Mardian berteriak kegirangan.
"Emas tidak ada artinya jika di bandingkan dengan harga seorang teman! Tiba-tiba Pak Witan memotong tawa kami. Sehingga membuatku langsung menutup mulut dan sadar kembali. Bahwa tujuan kami datang ke tempat yang sejauh ini tidak ada tujuan lain selain daripada untuk menyelamatkan teman kami, yaitu Logi.
Kini, Mardian-pun juga sudah tidak lagi terlihat se-riang tadi, dia kembali turun dengan wajah semula. Kamipun melanjutkan pencarian ke arah depan.
Berselang beberapa menit kemudian, tiba-tiba suasana berubah menjadi sedikit menegangkan. Aku sempat kaget, tiba-tiba anjing kakekku berlari ke depan dengan begitu cepat sambil menggonggong keras. Pak Witan dengan sigap langsung berlari mengikutinya dengan gaya seorang tentara yang sedang menjalankan tugas. Aku dan Mardian juga tidak mau tinggal diam, kami segera bergegas menyusul beliau dari belakang dengan membawa obor.
Di ujung sana, tiba-tiba terdengar suara teriakan. Suara itu terdengar menjerit menahan sakit. Aku dan Mardian bahkan sempat berhenti sejenak untuk mendengarkan suara tersebut.
Suara itu terdengar lagi, namun beberapa detik kemudian tak terdengar lagi karena lenyap oleh suara anjing kakekku yang sedang menyalak dan berlari ke arah sana.
"ITU SUARA Logi, Mar!
"AYO CEPAT..!" Aku berkata pada Mardian dengan nada yang panik.
"LOO...GII.....!
Begitulah suara terikanku memanggilnya. Suara teriakanku itu terdengar keras sekali, menggema hingga ke ujung lorong. Kami semua langsung berlari ke arah depan untuk menuju tempat dimana suara itu berasal.
Ilustrasi (Boombastis.com)