Halo gengs, gimana part pertama udah lumayan serem kan? Penasaran dengan lanjutanya? Kuy kita mulai cerita horor Desa Penari ini~
Saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
"masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)
"Astaghtirullah" kata Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
Benar kata ibunya tempo hari.
"Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur.
Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini ia merasakan langsung pengataman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat. Mungkin Nur lebih sensitif.
Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".
Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.
"Nur," kata Widya masih menenangkan "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek-arek, kan gak enak nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih' (Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman, kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya)
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.
Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari in akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.
"ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi," kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan bahasa indonesia.
Mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah" (itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah).
Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?"
"bukan" kata beliau santai. "pertanian"
"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)
"ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah" Jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.
KKN Desa Penari (iman-widodo.blogspot.com)
Sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
Aneh. itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan prang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.
Pemakamanya sendiri, di kelilingi potion beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depannya.
Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. is menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.
"ngapunten pals niki nopo nggih kok' (mohon maaf pals ini kenapa ya kok)
Belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya "saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?'
Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil.
ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini toh pemakaman," terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir namun pak Prabu bisa mendengarnya.
"wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)
Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.
"semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"
Kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu.
"mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"
Tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan air.
Tanpa terasa, hari sudah siang. Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biro, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.
Namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan. Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, is melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.
Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.
Nur, setelah dari Sinden, is ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh orang saja.
Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan.
'Tipak talas' kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak•anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning tayaknya pernikahan.
Desa Penari (kisahtanpahenti.wordpress.com)
"kenapa tidak boleh pak?" tanya Ayu penasaran.
Pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun is enggan mengatakanya.
"iku ngunu Alas D**** gak onok opo-opone, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?" (itu adalah hutan belantara, yak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, tersesat, lalu bagaimana?)
Sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
Observasi berakhir ketika pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau.
Ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, to tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi. Alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air.
Tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.
Tidak berhenti di situ, pak Prabu mengatakan bahwa, mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan di usahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan. Untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dad sungai.
Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa.
Sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.
Sore menjalang malam. Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, ahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik. Widya setuju. ia gak berpikir aneh-aneh.
Selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden.
Bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil, bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut, setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah Bilik itu tepat di samping pohon Asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan.
Sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.
Rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu. air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan did dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.
Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajenya. yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar. antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan.
'Nur", "Nur," teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
Masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik. Suara orang sedang berkidung. Kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
"Nur. bukak Nur!! bukak" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik.
"nyapo to, Wid?" (kanapa sih Wid?)
Ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik.
"ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo" (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar)
Kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi baser, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.
Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri.
Suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah.
Nah, ceritanya selanjutnya kita lanjutkan di part 3 ya gengs~
Desa Penari (pxhere.com)