Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Desa Cemara Timur sudah ramai ketika aku sampai di sana. Padahal, baru pukul 8 pagi. Orang-orang, tua-muda, pria-wanita, keluar dari rumah dan membersihkan lingkungan tempat tinggalnya.
Ada yang menyapu, mencabuti rumput, dan merenovasi balai desa. Bahkan, ada beberapa proyek yang cukup besar, yaitu merenovasi masjid dan membangun talut sungai. Namun, bukan itu yang menarik perhatianku.
Beberapa orang tampak merobohkan bangku-bangku keramik di tengah hutan. Sampai di rumah Pak Wongso aku terbelalak. Temboknya tak lagi hijau karena sudah dicat biru oleh beberapa warga!
Percaya tidak percaya, bangku-bangku dan tembok hijau itu menjadi simbol energi jahat yang kurasakan selama ini. Kenapa warga berani membongkarnya?
"Saya yang nyuruh, Mas," kata suara di belakangku yang muncul tiba-tiba. Ternyata Pak Wongso. Aku nyaris tidak mengenalinya. Rautnya jauh lebih tua dari beberapa hari yang lalu. Tubuhnya sedikit membungkuk dan beberapa helai uban tampak berkilauan diterpa sinar mentari. Sejak kapan dia beruban? Apakah aku tidak memerhatikannya selama ini?
Melihat kebingunganku, dia tersenyum, lalu menjelaskan. "Manusia harus tahu bakatnya dan batasnya. Saya sudah tahu bakat saya. Kekuatan spiritual itu, sudah saya miliki sejak lahir dan terus saya asah. Tapi, saya sudah melewati batas, jauh sekali."
Mukanya yang tadi bersemangat mendadak murung. "Terima kasih ya, Mas," katanya.
"Buat apa, Pak?"
"Sudah mengingatkan batas saya sebagai manusia," ujarnya lagi. "Gimana, siapa bilang saya nggak punya nyali? Hahahah!"
Tawanya masih menggelegar. Aku pun tertawa sekadarnya sambil garuk-garuk kepala.
Ilustrasi (KPU Kota Surabaya)
Setelah mengobrol, aku ikut membantu warga membersihkan selokan. Setelah bertahun-tahun, suasana di sini terasa begitu hidup. Warga desa dan warga perumahan pun bisa membaur.
Saat aku hendak pulang melewati bekas lokasi bangku-bangku hijau, suara bisikan kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, "Pssst, pkcmratmr, mati, rtwngs ij, mati, rssrhhst."
Beberapa kali seperti kudengar kata "mati" terucap dalam bisikan itu, tetapi aku mengabaikannya.
Sehari setelah kerja bakti, yaitu hari Minggu, hujan deras mengguyur Ibu Kota. Aku cuma sesekali keluar kos untuk membeli makan. Selebihnya kuhabiskan di kamar, entah membaca atau menonton TV. Ketika kupindah ke saluran berita, ada berita yang cukup mengejutkan.
Hujan badai terjadi di kecamatan tempat Desa Cemara Timur berada. Program berita itu menampilkan video amatir warga. Suasananya benar-benar mencekam. Sudah pukul 9 malam, tapi langit terlihat terang dan berwarna kemerahan setiap kali petir menyambar.
Pepohonan tampak mengayun hebat sampai miring ke satu arah. Beberapa benda, seperti atap seng dan sampah-sampah terangkat ke udara. Hujan turun dua kali lipat lebih deras dibanding Jakarta.
TV kunyalakan terus dan kukencangkan volumenya sembari melakukan aktivitas lain. Pukul 11, presenter memberitakan situasi yang lebih buruk. Pohon besar menimpa beberapa rumah. Yang paling dahsyat, tanah longsor terjadi di Desa Cemara Timur. Perasaanku semakin tak tenang.
Aku meraih ponsel dan menelepon Bu Rahmi. Dia sekeluarga mengaku baik-baik saja, begitu juga dengan rumahku. Namun menurutnya, ini badai terbesar selama 7 tahun tinggal di daerah situ. Kaca rumahku sampai bergetar setiap kali petir menyambar.
Selanjutnya, kutelepon satpamnya Pak Wongso. Ternyata tanah longsor yang diberitakan tadi terjadi di dekat situ. Aku pun minta bicara dengan Pak Wongso.
Ilustrasi (GoRiau)
"Maaf Mas, Pak Wongsonya lagi salat tahajud. Besok aja ya telepon lagi," ujarnya.
Aku kaget bercampur lega. Sepertinya dia sudah benar-benar berubah. Namun, kekhawatiranku masih besar. Suara angin ribut ketika menelepon amat berisik, membuat suara Pak Satpam tidak terdengar jelas.
"Tolong, ikut didoakan ya, Mas?!" katanya memohon sebelum menutup telepon. Dia tampak ketakutan.
Maka, usai menelepon, aku segera mematikan TV dan lampu. Aku duduk bersila di atas karpet kamar. Semalaman aku mendoakan mereka yang ada di Cemara Timur. Dalam mata yang terpejam, seolah aku berada seruangan dengan Pak Wongso yang sedang salat. Di sekeliling kami, angin ribut mengoyak-ngoyak seisi desa.
Waduh kok making ngeri banget kayak gitu, apa yang akan terjadi sama warga cemara timur? Tunggu cerita hantu bersambung selanjutnya ya.... Part 14
Ilustrasi (Merdeka.com)