Cerita Hantu Bersambung: Petaka di Cemara Timur Part 11 (Buto Ijo)

Kali ini ada cerita hantu bersambung yang berjudul "Petaka di Cemara Timur" yang lagi viral di Instagram, kek apa kisahnya yuk kita simak.

Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.

Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.

Api berkobar di ujung kain lap yang dipegang teman kosku. Ia mengayunkannya ke arah kodok dan serangga di depan kamar sembari komat-kamit merapalkan doa.

Usahanya cukup efektif. Hewan-hewan itu berlarian ke balik pohon. Segera setelah semua terusir, temanku mematikan apinya.

Aku lega dan berterima kasih kepadanya. Namun, wajahnya masih tampak waspada. "Ini baru pemanasan, Bro," ujarnya.

"Hah?! Maksud lo?" tanyaku.

Seperti yang pernah ia ungkapkan, temanku melihat aura hijau aneh menutupi tubuhku. Selama ini ia tak mengerti. Tetapi setelah mendengar ceritaku dan melihat kejadian hari ini, dia teringat akan sesuatu.

"Pernah denger pesugihan Buto Ijo?" tanyanya. Aku menggeleng, dan ia mulai bercerita.

Pesugihan jenis ini memanfaatkan jasa makhluk bernama Buto Ijo. Karena ia cukup kuat, pemakai jasanya juga harus kuat secara spiritual. Dia harus menjalani laku khusus. Ketika sudah sakti, Buto Ijo akan tunduk kepadanya dan memberikan kekayaan, juga menjaganya.

"Elo dianggap ancaman buat mereka. Makanya diserang terus," ujarnya. Padahal tak ada niatku sedikit pun untuk mengganggu.

Menurutnya, pemakai jasa Buto Ijo memang jadi kaya dan sakti. Seolah-olah dialah majikannya. "Padahal, sebenarnya dia yang diperbudak," katanya. "Dimulai dari cat warna hijau."

Ilustrasi (Medium)

Majikan Buto Ijo jadi punya kecenderungan mengecat benda-benda jadi hijau. Makanya rumah dan bangku-bangku di Cemara Timur dicat hijau.

Tahap selanjutnya adalah tumbal. Dia harus mengorbankan keluarga atau orang-orang terdekatnya. Sontak aku teringat Pak Basit. Aku merinding gara-gara pikiranku sendiri.

Belum selesai aku mencerna ceritanya, dia kembali menawarkan bantuan dari temannya. "Lo ngga mungkin bisa ngelawan ini sendirian. Percayain sama temen gue. Dia lumayan kuat," ungkapnya.

"Makasih, Bro, tapi nggak usah. Sejak awal gue nggak ada niat jahat. Dan gue pengin tetep begitu. Lagipula, kita ngga pernah benar-benar sendirian," balasku.

Malam itu, aku tetap tidur dengan lampu dimatikan. Dalam gelap, aku menyerahkan masalah ini kepada Yang membuat segalanya menjadi mungkin. 

Ilustrasi (INDOZONE)

Malam itu kulewatkan dengan tenang. Tak ada serbuan kodok atau hewan-hewan lain. Sepertinya ramalan temanku akan adanya serangan susulan tak terbukti. Meski begitu, badanku masih terasa lemas dan pegal-pegal.

Paginya, aku berangkat ke Cemara Timur. Seandainya apa yang dikatakan temanku benar, aku hanya ingin menegaskan bahwa tak ada niatku mengganggu kehidupan Pak Wongso.

Sepanjang jalanbyang dilalui kereta, langit tampak cerah. Namun anehnya, keadaan sangat berbeda begitu sampai stasiun tujuan. Baru pukul 8 pagi, tapi langit sudah gelap dan sedikit memerah. Apakah mau hujan?

Aku berjalan melintasi hutan dan semak-semak. Hawa dingin yang menusuk langsung menyeruak. Rasanya, semakin dekat aku ke tujuan, semakin suram suasananya.

Sampai di dekat rumah hijau, angin berembus cukup kencang. Yang lebih membuatku kaget, Pak Wongso sedang berdiri di depan gerbang, menatap tajam ke arahku seakan memang menunggu kedatanganku.

"Assalamulaikum, Pak," sapaku.

Dia tidak menjawab, justru mencecarku dengan amarahnya. "Mau apa lagi kamu ke sini? Masih belum cukup peringatan kemarin? Saya bisa bikin kamu seperti pohon itu kalau mau," serunya sambil menunjuk pohon asem di depan gerbang.

Sedetik kemudian, angin berembus semakin kencang, mengangkat debu dan dedaunan kering tinggi-tinggi. Lama-lama, angin itu semakin kuat. Kakiku kutegangkan agar tidak terempas. Satpam yang sedari tadi ketakutan melihat kemarahan tuannya, berpegang erat ke tiang lampu.

Pohon asem itu tampaknya juga berusaha bertahan, tetapi gagal. Rantingnya patah satu demi satu setelah terempas oleh angin ribut.

"Krak!"

Sepertiga batang bagian atasnya menyusul, patah seperti baru dikampak.

Aku melangkahkan kaki dengan susah payah, mendekati Pak Wongso.

"Pak, izinkan saya bicara dulu," kataku setengah berteriak di tengah suara angin. Dan dalam sekejap, angin ribut itu mereda. 

Waduh sampai separah itu coba, angin amper terhenti, kira-kira apa yang akan terjadi ya? Tunggu ya Cerita Hantu Bersambung: Petaka di Cemara Timur di part selanjutnya: Part 12

Ilustrasi (Ally Malinenko)