Gen Z Disebut Lebih Memilih untuk Beli Boneka Mahal Dibandingkan Menabung untuk Beli Rumah

Gen Z Disebut Lebih Memilih untuk Beli Boneka Mahal Dibandingkan Menabung untuk Beli Rumah

Mengoleksi boneka dan figur kini menjadi hobi yang digemari banyak anak muda, khususnya Gen Z. Kehadiran konsep blind box, kemasan tertutup yang membuat isi mainan menjadi kejutan, membuat aktivitas mengumpulkan mainan semakin seru dan menantang. Tak jarang, orang rela merogoh kocek hingga jutaan rupiah hanya demi satu item koleksi. Bahkan, banyak anak muda saat ini lebih memilih menghabiskan uang untuk hobi ini dibanding menabung untuk membeli rumah.

Boneka populer seperti Labubu, Sonny Angel, hingga Hirono menjadi buruan meski dibanderol dengan harga tinggi. Proses berburu boneka incaran bisa menimbulkan sensasi menyenangkan, memicu pelepasan dopamin yang membuat orang ketagihan. Menurut sejumlah psikolog, ada alasan mendalam mengapa tren ini kian digandrungi.

“Elemen kejutan dalam blind box seperti memberikan sensasi berjudi, tapi dengan kemasan yang lucu dan menggemaskan,” ujar psikolog dan podcaster Jemma Sbeg, yang juga kolektor Sonny Angel, dalam wawancaranya dengan Financial Review.

Jemma menambahkan bahwa dirinya lebih menyukai pengalaman membuka blind box ketimbang membeli boneka yang sudah terbuka atau sesuai keinginan. “Bagiku, bagian paling seru justru dari ketidaktahuannya,” katanya.

Fenomena membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan ini bukanlah hal baru. Berdasarkan teori Lipstick Effect, kebiasaan membeli blind box dan mainan lucu merupakan bentuk pelarian psikologis di tengah kondisi keuangan sulit. 

Seperti saat orang membeli lipstik sebagai bentuk kemewahan kecil ketika mereka tak mampu membeli barang mahal lainnya, membeli boneka koleksi bisa menjadi cara untuk menyenangkan diri dengan bujet yang lebih terjangkau.

Luke Hartigan, mantan ekonom Bank Sentral Australia yang kini mengajar di Universitas Sydney, menyatakan bahwa fenomena Lipstick Effect tengah nyata terjadi. Dengan harga properti yang kian tak terjangkau, banyak orang memilih mengalihkan uang mereka untuk kebahagiaan jangka pendek melalui hobi-hobi koleksi.

“Ini adalah keputusan logis bagi banyak orang. Mereka tahu tidak akan mampu beli rumah, jadi mereka memutuskan menggunakan uang untuk sesuatu yang bisa membuat mereka senang sekarang,” ujar Luke. “Kita bisa lihat hal serupa terjadi pada komik, kartu Pokemon, atau video game—barang-barang itu memberi kesenangan dan akhirnya punya nilai tambah.”

Sementara itu, Gen Z sering dikritik karena dianggap terlalu konsumtif. Namun, McLean, seorang pengamat tren, menolak anggapan tersebut. Ia justru menyoroti praktik bisnis tidak berkelanjutan dari generasi sebelumnya sebagai penyebab utama, bukan perilaku konsumsi Gen Z itu sendiri.

Boneka Labubu (tribunnews)