Kantor Bahasa Provinsi Maluku menyatakan bahwa tiga dari 70 bahasa daerah yang terdata di wilayah Provinsi Maluku sudah punah, karena tidak ada lagi penutur.
"Jika dibandingkan dengan data bahasa punah tahun 2019, bahasa yang punah di Maluku tidak sebanyak sebelumnya, yakni dari delapan bahasa menjadi tiga bahas yang telah punah, yaitu bahasa Hoti, bahasa Kaiely (Kayeli), dan bahasa Piru, dari Seram Bagian Barat," kata kepala Kantor Bahasa Provinsi Maluku Kity Karenisa di Ambon, Senin.
Ia mengatakan teridentifikasi ada 70 bahasa daerah di Maluku. Paling tidak, ada sekitar 19 persen dari bahasa-bahasa ini juga tidak lagi memiliki penutur-penutur muda.
Dengan ketiadaan penutur muda secara terus-menerus, sebuah bahasa pasti akan ada pada tingkat daya hidup paling rendah dari sebuah bahasa, yaitu punah.
"Permasalahan yang terjadi generasi tua lebih memilih untuk menggunakan bahasa lain salah satunya bahasa yang sebenarnya turut melemahkan bahasa daerah lain itu adalah bahasa melayu Ambon, katanya.
Ia menjelaskan perubahan bahasa daerah yang punah di Maluku, didasarkan pada verifikasi yang dilakukan terhadap data yang ada sebelumnya.
Misalnya, bahasa Nila dan bahasa Serua yang dinyatakan sebagai bahasa punah pada tahun 2019 itu masih mempunyai penutur, khususnya di Kecamatan Teon Nila Serua di Kabupaten Maluku Tengah (dengan penutur yang dipindahkan oleh negara pada tahun 1978 dari Pulau Teon, Pulau Nila, dan Pulau Serua di tengah Laut Banda).
Bahasa Hukumina dan bahasa Palumata merupakan bahasa yang sama dan masih ada penutur.
"Pemutakhiran data pada tahun 2022 mengenai bahasa punah di Maluku hanya menyebutkan tiga bahasa punah, yaitu bahasa Hoti, bahasa Kaiely (Kayeli), dan bahasa Piru, " ujarnya.
Ilustrasi penutur bahasa daerah di Indonesia (via Zona Nusantara)