Aksi Saling Sepak di Area Bermain Anak: Sebuah Pemaparan Sederhana

Semua bisa jadi lalai, salah, atau motivasi yang tidak jelas. Termasuk uraian macam ini.

*Tulisan ini adalah komentar untuk berita seorang bapak yang menendang anak kecil. Anda bisa membacanya di sini.

Aksi heroik seorang bapak yang-menyepak-anak-yang-menyepak-anaknya itu bak 'pahlawan kesiangan'. Dalam video rekaman CCTV setempat, sebetulnya kita kehilangan petunjuk dan tak mengetahui apa yang dilakukan sang ayah sebelumnya. Karena, CCTV hanya 'menyuarakan' apa yang ia lihat.

Kalau ditelisik sederhana, kejadian itu bermula sejak si anak laki-laki berkaos biru yang sibuk mengendarai ayunan di area itu. Segala dayanya dikerahkan agar lajunya semakin cepat, padahal jelas tanpa tujuan. Mungkin hanya untuk memacu adrenalinnya saja.

Tapi tiba-tiba, seorang bocah perempuan berjalan di belakangnya. Tak terelak lagi, kaki anak laki-laki yang mengendarai ayunan tadi menyepak bocah itu. Si bocah itu terpelanting ke belakang dan buru-buru ditolong oleh dua orang yang berada di sekitar lokasi jatuhnya.

Melihat si bocah terpental, si pahlawan kesiangan tadi datang beberapa detik kemudian. Badannya berbalik, kakinya diangkat sembari membuahkan tendangan pada si pemacu ayunan itu. Mungkin maksudnya adalah agar ayunan berhenti, sebutlah 'refleks'. Tapi entah bagaimana, kulit punggung anak pemacu ayunan itu memerah.

Sekali lagi, si ibu dari si pemacu ayunan itu menghampiri setelah tahu anaknya disepak sebagai upaya membalas sepakan kakinya terhadap si anak. Demikian, jelas saja si bapak yang-menyepak-anak-yang-menyepak-anaknya itu diomeli balik oleh sang ibu yang tidak berada dalam jangkauan CCTV.  Perdebatan tak bisa ditolak lagi dan mereka berdua saling menyalahkan satu sama lain.

Lantas bagaimana 'kecolongan' ini bisa terjadi?

Kejadian ini mengantarkan kita untuk kembali memahami teori bola salju (Snowball Effect). Tapi tak perlulah dikaitkan lebih jauh, cukup gunakan logika sederhana saja. Layaknya bola salju yang terus membesar di tiap perputarannya, kita tahu bahwa kemarahan akan berbuntut pula pada kemarahan lainnya.

'Kecolongan' ini bukan berarti tanpa alasan. Namun, melihat cek-cok yang terjadi di antara kedua orang tua korban ini kian menguatkan alasan tanggung jawab orang tua dalam mengawasi anak-anak mereka. Apalagi ketika mereka masih sama-sama bocah dan bermain bersama. Barangkali, di sini kita perlu menginterogasi CCTV agar dia tak semata mengawasi dalam diam.

Sejurus kemudian, pihak Mal Kelapa Gading pun menjelaskan bahwa mereka telah melerai cek-cok tersebut. Mereka menengahi kedua belah pihak. Keduanya bersepakat damai dan pergi dari area tersebut.

Di jagad tempat warganet bersuara, bapak tadi ikut mendapat kecaman keras. Komentar para warganet menjurus pada perilaku bapak yang sebetulnya tak perlu sampai menyepak anak tadi. Sebab, jika si bapak sayang pada anaknya, rasanya hadiah tendangan pada pemacu ayunan tadi jadi percuma meskipun seolah setimpal.

Kendali penuh, baik si bocah perempuan atau si pemacu ayunan tadi, berada di tangan kedua orang tuanya kendati tidak ada di dalam area.

Di samping itu, pihak pengelola area bermain anak itu juga perlu mengetatkan pengawasan. Baik si pemacu ayunan dan bocah perempuan yang berlari di belakangnya jelas tak punya motivasi khusus kecuali menyenangkan diri mereka. Yang jadi pertanyaan, apa motivasi si bapak yang masuk ke area bermain dengan alas kaki yang masih ia kenakan? Sederhananya, ketiganya punya motivasi, namun tidak jelas.

Di sisi lain, pemerintah, yang tentu saja tidak ada dalam skema ini, perlu tegas mempertimbangkan membangun ruang terbuka berikut taman bermain anak yang mumpuni agar anak-anak dapat bermain bebas di ruang terbuka alih-alih di dalam mal. Di sini, saya juga menyadari motivasi saya sama tidak jelasnya dengan mereka.

Mau berbelanja dan mejeng di mal, tapi membiarkan anak berada di luar jangkauan untuk bermain jelas merupakan sebuah kelalaian.