Terungkap! Ternyata Ini Alasan RA Kartini Mau Jadi Istri Ke-4 Bupati Rembang

Terungkap! Ternyata Ini Alasan RA Kartini Mau Jadi Istri Ke-4 Bupati Rembang

Hari Kartini diperingati setiap tanggal 21 April. Banyak cerita soal perjuangan wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879 ini. Sebagai sosok perubahan yang membawa pergerakan emansipasi perempuan pada abad ke 19 ini, kisah Raden Adjeng Kartini atau RA Kartini sangat menarik untuk disimak. Salah satunya terkait perjalanan cintanya yang tampak menyedihkan ketika ia dipaksa untuk poligami.

Dilansir dari Detik.com, Kamis (21/4/2022), sedari kecil RA Kartini memang sudah berada di lingkungan yang tak jauh dari poligami. Sebab, ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat juga tak hanya memiliki satu istri.

Ibunya, MA Ngasirah harus rela dipoligami oleh ayahnya yang menikah untuk kedua kalinya dengan Raden Ajeng Woerjan. Saat itu, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat akan menjadi bupati sehingga harus menikah dengan wanita keturunan bangsawan.

RA Kartini merupakan sosok yang menentang poligami karena dianggap merugikan wanita. Namun, meski menentang, RA Kartini terseret dalam derita poligami dengan menjadi istri ke-4 Bupati Rembang, Raden Adipati Djojoadiningrat. Keputusannya saat itu pun banyak dicibir dan dicemooh. Banyak yang bertanya-tanya kenapa ia mau dipoligami oleh Raden Adipati Djojoadiningrat.

"Ironis seorang Kartini karena pengen mempertahankan keturunan darah biru atau ningrat, RA Kartini rela dinikahkan dengan seorang adipati yang sudah berkeluarga," tulis seorang pembaca saat mengomentari infografis bertajuk, "8 Fakta Tersembunyi Kartini".

Faktanya, bila membaca surat-surat Kartini kepada para sahabatnya di Belanda, seperti Abendanon, dia justru banyak mengkritik soal gelar dan gaya hidup para bangsawan.

"Salah satu alasan utama Kartini akhirnya bersedia menikah dengan lelaki yang telah beristri atau dipoligami, justru karena rasa hormat dan cintanya kepada sang ayah," kata Krisnina (Nina) Maharani, penulis buku Pikiran Kartini.

Kartini, kata Nina melanjutkan, sudah pada titik menanggalkan egoismenya. Dia yang semula hidup pada tataran ideal mulai berpijak pada realitas sosial di sekelilingnya.

"Kartini mencoba berkompromi dengan sejumlah syarat. Dan yang mencengangkan dalam sejumlah suratnya, Kartini justru memuji dan menyanjung suaminya," katanya.

Dalam buku Pikiran Kartini yang terbit pada 2015 lalu, dicuplik surat Kartini kepada Abendanon tertanggal 14 Juli 1903.

"Saya telah berjuang, bergulat, menderita dan saya tidak dapat menjadikan nasib celaka ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai."

RA Kartini dan Raden Adipati Djojoadiningrat (Haibunda.com)

Pada bagian lain surat itu Kartini menegaskan bahwa dirinya telah berjuang, bergulat, menderita dengan segala sikap kukuhnya saat sang ayah, menjodohkannya dengan Djojoadiningrat.

"Saya tidak dapat menjadikan nasib celaka ayah dan dengan demikian membawa bencana bagi semua yang saya cintai," tulis surat itu.

Hal lain yang tak banyak diungkap, rupanya Kartini pun mengajukan sejumlah syarat kepada calon suami yang akan memperistrinya. Syarat itu antara lain boleh membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang, dan membawa ahli ukir Jepara ke Rembang untuk mengembangkan kerajinan itu secara komersial. Nggak cuma itu, syarat lainnya menyangkut upacara pernikahan.

"Dia menolak ada prosesi jalan jongkok, berlutut, menyembah kaki mempelai pria dan akan berbicara dalam bahasa Jawa Ngoko, bukan kromo inggil. Ini syarat-syarat yang radikal untuk ukurasa massa itu," jelas Nina.

Wah, sungguh mulia ya hati RA Kartini. Pantesan dia disebut putri yang mulia.

Foto Keluarga RA Kartini (ASPEKSINDO)