Sebagai pihak yang paling sering terlibat dalam perawatan pasien, perawat juga jadi lebih rentan mendapat kekerasan secara fisik maupun verbal dari pasien atau keluarganya. Padahal, sebagian besar kekerasan perawat terjadi karena kesalahan yang bukan merupakan tanggung jawabnya.
Seringkali pasien atau keluarganya meluapkan emosinya kepada perawat terkait masalah kedatangan dokter yang terlambat, pelayanan administrasi yang lamban, atau bahkan menu makanan yang tidak cocok dengan seleranya.
Menurut dr. Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, (Talkshow ROSI, 22/4/21) dari semua laporan yang masuk ke kantornya, kebanyakan kasus kekerasan perawat terjadi karena masalah miskomunikasi, yaitu pesan yang tidak tersampaikan dengan jelas.
Selain menerima kekerasan dari pasien atau keluarga, tidak menutup kemungkinan bahwa perawat juga bisa menerima kekerasan dari dokter atau staf rumah sakit lainnya. Beberapa kasus seperti ini pernah terjadi di Indonesia dan menjadi sorotan pada masanya.
Fenomena Kekerasan Perawat di Indonesia (via FindaTopDoc.com)
Dalam Jurnal Skolastik Keperawatan edisi Januari-Juni 2016, Michelle Christlevica menunjukkan hasil penelitiannya terhadap para perawat, pasien beserta keluarga, dan dokter, di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Advent Bandung.
Menurut pasien, kekerasan perawat yang terjadi di IGD disebabkan oleh rasa ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan yang lama maupun tersinggung karena perawat terlalu banyak bertanya. Sedangkan penyebab kekerasan perawat yang dilakukan oleh dokter adalah karena perawat terlalu lama menjalankan prosedur, terlalu lama memahami penjelasan, sok sibuk, hingga bercanda berlebihan.
Fenomena Kekerasan Perawat di Indonesia (Via JawaPos)
Banyak dampak yang akhirnya harus diterima atas risiko terjadinya kekerasan perawat . Perawat mengalami dampak fisiologis, afektif, dan intelektual, yaitu sakit fisik, sulit tidur, emosional, kurang fokus, beban pikiran yang bertambah, hingga enggan menjalankan tugas.