Aron (nama samaran) berasal dari keluarga Yahudi yang tinggal di New York, Amerika Serikat (AS). Kisah hidupnya jadi menarik untuk disimak setelah dirinya menjadi mualaf dan memeluk Islam.
Aron diketahui tumbuh besar di New York bersama keluarganya. Nenek moyangnya berasal dari Polandia. Mereka meninggalkan kampung halamannya ketika kekaisaran Rusia menguasai wilayah Polandia tahun 1795 silam.
Setelah perjalanan panjang itu, akhirnya nenek moyang Aron tinggal dan menetap di New York ratusan tahun silam. Meski penganut Yahudi, keluarga Aron bukanlah Yahudi ortodoks.
Buat Aron, Yudaisme punya peran penting untuk penanda identitas keluarganya. Mereka mengikuti ritual dan perayaan tradisional sambil terlibat dengan masyarakat di sekitarnya.
Sejak masih kecil, Aron terus mengembangkan bakatnya pada musik. Kemudian ketika remaja, Aron mulai tertarik pada musik eksperimental. Dia pun terpesona pada musik tradisional dan alat musik dari berbagai negara.
Dia pun menggunakan suara dari alat musik yang berbeda untuk membuat komposisi musiknya sendiri.
Suatu hari, temannya memberi tahu bahwa dia bisa belajar etnomusikologi di Indonesia. Aron pun bertekad untuk pergi ke Indonesia dan mendaftar di institut seni yang menawarkan gelar di bidang etnomusikologi.
Aron pun tiba di Indonesia dan mendaftar di sebuah institut seni. Namun, Aron tak memberi tahu kepada siapa pun bahwa dia adalah seorang penganut Yahudi. Aron tentu harus beradaptasi bahwa orang di Indonesia menyatakan agamanya.
Ilustrasi, Aron adalah bagian dari komunitas Yahudi di New York (unsplash.com)
Aron hanya menyatakan bahwa dia memeluk ajaran Buddha karena itu adalah pilihan termudahnya. Dia khawatir orang-orang akan menunjukkan permusuhan karena dia adalah penganut Yahudi.
Setelah tinggal di Indonesia selama lebih dari dua tahun, Aron bergabung dengan banyak proyek musik. Dia hanya fokus pada musik meski jadi jauh dari nilai-nilai Yahudi.
"Saya jauh dari keluarga saya. Jauh dari komunitas Yahudi saya yang biasanya mendukung bergabung dengan perayaan tradisional kami," kata Aron.
Sementara menurut Aron, ajaran Islam yang banyak dianut orang Indonesia bukanlah untuknya. Aron berpikir bahwa banyak Msulim hanya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berdoa daripada melakukan hal-hal yang sangat penting.
Lalu pada suatu hari, Aron pun bergabung dengan pertunjukan musik gamelan. Hadir di acara itu, dia duduk bersebelahan dengan seorang lelaki tua yang mulai bicara kepadanya. Aron pun sudah bisa berbahasa Indonesia, dia pun mengerti apa yang dikatakan lelaki tua itu.
Aron pun pergi ke Indonesia untuk belajar etnomusikologi (unsplash.com)
Lelaki tua itu menjelaskan kepada Aron hubungan antara gamelan dan Islam. Dia memberi tahu Aron bahwa gamelan sejak lama bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Gamelan sekaten misalnya, hanya digunakan setahun sekali. Lelaki tua itu melanjutkan bahwa permainan gamelan ini sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad.
"Kisah ini mengesankan saya karena saya tidak pernah memikirkan aspek spiritual dari musik. Penjelasannya membuat dampak yang bertahan lama bagi saya," kata Aron.
Aron pun mulai merasa bahwa gamelan menjadi bagian penting darinya. Dia mulai membaca lebih banyak tentang aspek spiritual Islam, khususnya tentang mistisisme Islam di Indonesia.
"Jujur, itu menyentuhku. Itu memengaruhi saya. Saya mengerti bahwa Islam adalah agama yang hidup dan penuh dengan spiritualitas yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya telah melihat Islam sebagai agama yang kering dan ketat yang hanya berfokus pada aspek luar dan aturan," katanya.
Setelah membaca tentang Islam, Aron belajar bahwa persepsi dia jauh dari kenyataan. Aron pun sangat terpesona dengan kekayaan ajaran Islam. Hingga akhirnya Aron tertarik untuk memeluk ajaran Islam dan menjadi seorang Muslim.
Aron pun bertemu lelaki tua ketika menonton pertunjukan gamelan (goodnewsfromindonesia.id)
Akan tetapi, Aron jadi khawatir tentang keluarganya. "Apa yang akan mereka katakan? Seorang Yahudi menjadi Muslim? Saya tidak ingin kehilangan mereka," ungkap Aron.
Sekembalinya ke AS, Aron mengikuti kata hatinya. Dia pun mengucap dua kalimat syahadat di pusat komunitas Muslim di New York. Dia pun bergabung dengan lingkaran dzikir di sana. Aron mengatakan, "Lingkaran ritmis tentang Allah itu luar biasa. Ini seperti musik spiritual yang menenangkan hati dan menenangkan pikiran."
Sudah memeluk Islam, Aron pun tak memberi tahu keluarganya dalam waktu yang lama. Soalnya Aron juga tidak tinggal bersama keluarga besarnya. Dia pun cukup mudah menyembunyikan identitas barunya.
"Namun akhirnya mereka curiga pada saya. Saya mencoba menyiasati perayaan keagamaan dan pertemuan komunitas Yahudi reguler kami," kata Aron.
"Ketika saya memberi tahu mereka, mereka hanya diam untuk apa yang tampak seperti selamanya. Kemudian, ibu saya bertanya apakah saya bahagia. Lalu, saya berkata: iya!" lanjutnya.
Akhirnya Aron pun jadi mualaf dan memeluk agama Islam (hmetro.com.my)
Mengetahui anaknya jadi seorang mualaf, ayah Aron meminta agar keislamannya tidak diberitahu ke banyak orang. Sebab, orang-orang memiliki opini buruk tentang Muslim. Orang tua Aron juga tak ingin masyarakat berpikiran negatif tentang dirinya dan keluarganya.
Aron pun memenuhi permintaan ayahnya. Hingga kini, Aron tidak pernah bicara tentang agamanya. Dia hanya sesekali bergabung dengan pertemuan komunitas Yahudi di New York.
"Saya masih bisa melihat dan mengunjungi keluarga saya. Alhamdulillah," katanya.
Aron masih merahasiakan identitas keislamannya di AS hingga kini (muslimobsession.com)