Malaysia Berulah Caplok Lahan di Pulau Sebatik, Pak Camat Ngantor Harus Lewat Malaysia

Malaysia kembali caplok lahan perbatasan dengan Indonesia, kali ini lahan di Pulau Sebatik dipasang patok baru dan merugikan lahan milik 44 warga Indonesia.

Malaysia kembali membuat gejolak di perbatasan dengan Indonesia, kali ini terjadi di Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan negeri Jiran tersebut. Klaim yang dilakukan oleh Malaysia terkait pencaplokan lahan milik 44 warga Indonesia di daerah perbatasan. 

Warga desa Pulau Sebatik bahkan sempat ribut dengan warga negara Malaysia di perbatasan negara. Hal tersebut lantaran, banyak warga desa yang merasa dirugikan, lahan pertanian dan perkebunan mereka tiba-tiba diminta sepihak oleh Malaysia. Sebab kini ada warga negara Malaysia yang mulai berdatangan di kebun bersertifikat milik warga Indonesia tersebut untuk mengambil hasil panen baik dari sawah atau kebun di sana.

Padahal perlu diketahui bahwa mereka telah memiliki sertifikat tanah secara resmi, namun kini lahan mereka diberi patok oleh pemerintah Malaysia sebagai kepemilikan oleh negeri Jiran.

"Kita mediasi, karena ini belum ada diresmikan dan belum dipastikan. Saya sampaikan itu (mengambil dan menguasai lahan) tidak bisa, kecuali antar dua negara sudah sepakat. Jadi sementara ini silahkan digarap masing masing seperti biasa sampai ada kejelasan," kata Hambali dilansir dari kompas.com.

"Ada sekitar 44 warga yang mengaku dirugikan karena sebagian lahan mereka masuk Malaysia," ujar Kepala Desa Seberang, Kecamatan Sebatik Utara, Hambali, Jumat (4/9/2020) yang dilansir dari Kompas.com.

"Sebagian besar warga ada kepemilikan sertifikat, data kita sekitar 44 orang, mereka menggarap lahan, berkebun dan bertani di sana sejak lama," katanya.

Setidaknya ada sekitar 2,16 km lahan di Desa Seberang yang terdampak atas pengukuran ulang tersebut. Padahal ke 44 warga yang telah mengadu tersebut memiliki sertifikat kepemilikan tanah sudah sejak lama. 

Bahkan untuk bisa ke kantor camat, warga desa tersebut sekarang harus jadi imigran gelap. Hal itu lantaran jalan akses dari rumah mereka ke kantor Camat kini tiba-tiba telah menjadi bagian dari wilayah Malaysia. Insiden pematokan batas wilayah tersebut dibenarkan oleh Camat setempat.

Camat Sebatik Utara Zulkifli menjelaskan, tengah mendata luasan dan para pemilik sertifikat di wilayah Sebatik Utara. Dia mengakui, keluhan masyarakat atas hilangnya sebagian tanah mereka karena masuk Malaysia juga menjadi keresahan pemerintah kecamatan dan desa.

"Jalan masuk kantor Kecamatan Sebatik Utara terpotong sekitar 30 meter. Jadi kalau mau ke kantor camat kita harus lewat Malaysia, kita jadi pendatang haram (imigran gelap) untuk sementara," kata Camat Sebatik Utara Zulkifli.

Hal itu terungkap setelah pengukuran ulang patok batas negara oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) bersama Jabatan Ukur dan Pemetaan (JUPEM) Malaysia pada Juni 2019.

Sejak kejadian dan kisruh ini terjadi tanpa ada solusi sampe sekarang masyarakat mendesak Kepala desa memperjelas status kepemilikan sertifikat tanah mereka. Namun, langkah tersebut terkendala karena Pemerintah kabupaten Nunukan atau Biro Perbatasan Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara mengaku belum bisa bersikap karena masih menunggu informasi pemerintah pusat. 

"Ini ranahnya tim pusat, kami tidak bisa memberi keterangan. Lagi pula data detailnya kami tidak tahu," sebut Kepala Biro Pengelolaan Perbatasan Negara (PPN) Setprov Kaltara Samuel ST Padan, melalui pesan tertulis dilansir dari kompas.com.

Camat Sebatik Utara Zulkifli bersama sekretaris BNPP Suhajar Diantoro saat berfoto di patok 1 RI Malaysia tak jauh dari kantor camat Sebatik utara (zulkifli)

Menanggapi kisruh tersebut, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Nunukan Agoes Trijanto juga menjelaskan, pengukuran dilakukan oleh pemerintah pusat, tanpa melibatkan BPN Nunukan. Sampai hari ini hasilnya juga belum diumumkan, sehingga dalam peta BPN Nunukan belum tercantum secara pasti angka koordinat maupun luasan lahan yang masuk wilayah Malaysia. 

"Kita belum bisa membandingkan atau memastikan datanya sebelum publish, ini kan belum resmi, sehingga belum kita data berapa luas lahan kita yang masuk Malaysia dan berapa lahan Malaysia yang masuk Indonesia," jawabnya.

Agoes berpendapat, ketika pemerintah pusat sudah merilis resmi dan hasil pengukuran sudah masuk dalam peta dengan adanya tanda tangan kedua negara, maka tentu akan ada tindak lanjut dan kejelasan terhadap para warga yang memiliki sertifikat lahan dimaksud. 

"Nanti ada yang namanya kompensasi, bisa disesuaikan dengan hak-hak yang ada di Malaysia, perlakuannya bagaimana. Pasti akan dibicarakan antar dua negara, kita belum bisa ngapa-ngapain saat ini," kata Agoes.

Selain itu, Anggota DPRD Nunukan daerah pemilihan Sebatik, Andre Pratama, berharap pemerintah terutama Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera mendata luasan lahan masyarakat khususnya yang sudah bersertifikat agar mereka segera mendapat kepastian dan tidak terlalu kecewa.

"Ada jalan yang dibangun oleh pemerintah dengan anggaran Badan Perbatasan sekarang posisinya masuk Malaysia. Itu juga harus diperjelas bagaimana statusnya? Takutnya, ada juga tanah masyarakat yang sertifikatnya dijadikan agunan di bank, ini juga harus jelas, kasihan mereka," katanya dilansir dari kompas.com.

Mudah-mudah kisruh perbatasan ini segera terselesaikan dan tidak ada warga yang dirugikan karena hak lahan mereka merasa diambil alih tanpa hukum yang jelas. 

(Kompas.com/Ahmad Dzulviqor)