"AAAAaaaa...!"
Suara Logi terdengar semakin dekat, tebakanku sekitar 50 meter lagi di depan.
Pak Witan terus berlari di posisi paling depan, sementara aku dan Mardian masih juga tetap mengekor dari belakang.
Tiba-tiba Pak Witan berhenti, serentak aku dan Mardian-pun juga ikut berhenti.
"Awas! Pelan-pelan! Ini ada jembatan kayu! Seru Pak Witan kepada kami dengan nada keras. Untunglah saat itu kami sudah berhenti. Kamipun melanjutkan dengan berjalan pelan ke arah beliau.
"Lihat di bawah sana, ada sungai! Kata Pak Witan seraya menunjuk.
Kamipun segera menoleh. Benar, ternyata dibawah sana ada sungai yang selebar 10 meter. Jembatan itu cukup tinggi, jarak antara jembatan tersebut dengan permukaan sungai mungkin sekitar 15 meter. Jarak yang setinggi itu cukup membuat aku dan Mardian sedikit ragu untuk menyeberanginya.
Air sungai itu nampak keruh. Namun alirannya nampak pelan sekali, tidak juga begitu berisik. Kata orang, sungai yang diam itu bisa menghanyutkan. Kami harus berhati-hati.
Tanpa aba-aba si hitam malah sudah berlari pelan menyeberangi jembatan, aku tidak bisa lagi menahannya, karena posisinya cukup jauh dari jangkauan tanganku.
Aku kemudian melemparkan lampu oborku itu ke seberang jembatan, dalam sekejap semua pun dapat terlihat dengan jelas. Ternyata di seberang sana ada sedikit takah anak tangga yang naik. Dan di atas sana, terlihat pula sebuah lorong yang mengarah jauh ke dalam sana.
"Bagaimana? Begitu tanyaku kepada Pak Witan.
"Kita harus menyeberanginya satu persatu" begitu jawab beliau.
Mardian mengambil posisi paling depan, sepertinya dia akan menjadi orang pertama yang akan menyeberangi jembatan tersebut.
Dia mulai berpegangan pada gagang jembatan yang sudah lapuk dimakan ulat, lalu kemudian dengan pelan melangkahkan kaki. Dia terlihat sangat teliti dan berhati-hati, karena bila sedikit saja dia salah injak, maka dia akan jatuh kedalam sungai.
Kini Mardian sudah hampir sampai di bagian tengah jembatan, sementara aku malah berdiri sambil menggigit jari. Aku benar-benar tegang pada saat itu. Sedikit demi sedikit, akhirnya Mardianpun berhasil sampai di ujung jembatan dengan selamat.
Ilustrasi (ronymedia.wordpress.com)
Selanjutnya adalah giliran Pak Witan, kali ini perasaanku malah terasa lebih tegang daripada saat pertama, karena jelas-jelas postur tubuh Pak Witan lebih besar daripada postur tubuh Mardian. Akan tetapi, Pak Witan yang melewatinya malah terlihat lebih santai tanpa ragu, aneh, kok aku yang malah berlebihan.
Kini tiba pula giliranku. Perlahan kulangkahkan kaki, tangan kananku erat menggenggam gagang jembatan yang terbuat dari kayu yang kini telah berlubang-lubang dimakan ulat. Penuh ragu aku berjalan, selangkah demi selangkah terus aku ayunkan. Tatapan mataku fokus mencari tempat terbaik untuk menginjakkan kaki.
Aku pun berhasil menyeberanginya.
"Ayo, cepat! Anjing kakekmu sudah jauh tuh" Kata Pak Witan seraya memicingkan mulut, menunjuk. Kamipun kembali melanjutkan perjalanan.
Terlihat ada sekitar belasan takah anak tangga yang mengarah naik. Kami mulai menginjakkan kaki disitu. Aku masih berada di posisi paling belakang sembari memegang obor yang tadinya kulempar. Udara di ruangan seberang sungai ini terasa panas, hingga membuatku sampai beberapa kali membersihkan muka.
"Logi...! Logi..! Mardian berteriak memanggil temannya yang entah dimana keberadaanya. Namun tak ada suara sahutan yang terdengar menjawab. Yang ada hanyalah gemaan suaranya yang malah memantul hingga ke ujung lorong sana yang gelap.
Kami terus berjalan penuh selidik. Dasar jalan di lorong tersebut terbuat dari tanah dan debu-debu halus yang mudah melayang. Entah sudah berapa lama tempat ini tak dikunjungi oleh manusia. Begitulah gemingku dalam hati.
Tentang suara teriakan yang tadinya kami dengar, sampai sekarang malah sudah menghilang entah kemana. Aku merasa janggal dan separuh lagi merinding. Karena tempat ini benar-benar kumuh dan berantakan, entah kenapa aku malah berpikir pemandangan itu terlihat seperti yang ada di film-film horor.
Ilustrasi (BAGUZ16_chemist)
Dindingnya dipenuhi retak, lumut-lumut bertebaran di dinding, akar-akar pohon yang entah darimana asalnya menjuntai di dinding-dinding ruangan. Tidak ada makhluk hidup yang terlihat bahkan semut dan cicak sekalipun. Tempat ini benar-benar sunyi dan jauh dari kehidupan.
Si hitam semakin jauh di depan, kini jaraknya mungkin hampir mencapai 50 meter dari kami. Kamipun sedikit mempercepat langkah untuk mengikutinya.
Gelap, sunyi dan mencekam. Begitulah yang aku rasakan. Kami terus berjalan mengikuti lorong kumuh itu yang entah berantah. Ragu takut dan cemas terus bergemuruh di dalam hati kami. Apakah kami akan berhasil menemukan Logi dan ataukah sebaliknya kami malah tersesat dan terjebak di dalam lorong yang gelap ini? Itulah yang mengusik benakku.
Misteri hutan karet bersambung....
Ilustrasi (Pexels.com)