"Berarti tadi yang kita dengar itu suara apa? Padahal kita tidak menemukan apapun di sini. Jangan jangan itu adalah suara...? Aku bertanya dengan nada takut kepada mereka. Namun mereka tidak menjawab. Kelihatannya mereka juga sedang berpikir hal yang sama sepertiku.
"Lihat itu! Tiba-tiba Pak Witan mengacungkan telunjuknya ke arah dinding belakang ruangan tersebut. Kami semua serentak menoleh ke arah yang sama. Ternyata di belakang sana ada sebuah pintu ataupun lubang kecil yang setinggi satu meter, akan tetapi lebarnya kurang dari satu meter.
Kami tidak bisa melihat dengan jelas apakah yang ada di balik lubang tersebut, akan tetapi dalam samar-samar kami masih bisa melihat sepertinya lorong itu mengarah turun ke lantai bawah.
Yang jelas di dalam sana hanya terlihat gelap dan hitam. Cahaya senter kami tidak bisa menyorot lebih jauh ke dalamnya. Jadi, penglihatan kami terbatas di arah jalan yang sepertinya menurun ke bawah. Entahlah, kami belum bisa memastikannya dengan jelas.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah balik pintu jeruji penjara, barangkali saja pintu jeruji tersebut tidak terkunci. Begitulah pikirku. Tak beberapa lama kemudian, aku menemukan sebuah kunci besi yang dapat ditarik dengan tangan dari luar untuk dibuka. Aku mencoba untuk menariknya. Dan aku pun berhasil.
"Lihat ini! pintunya gak terkunci, ini udah aku buka" Kataku kepada tiga orang temanku. Mereka semua serempak menoleh. Lalu Logi mencoba untuk menolak pintu jeruji tersebut, dan akhirnya pintu jeruji ruangan penjara itupun berhasil terbuka dengan mudah. Kini Logi sudah mulai beranjak ke dalam ruangan tersebut. Sementara kami masih berdiri di luar menunggu giliran.
Satu persatu kami kini sudah berada di dalam. Hal yang paling menjadi perhatian kami adalah lubang gelap yang ada di dinding belakang penjara. Dan kini, kami semua sudah berdiri tepat di mulutnya untuk melayangkan mata memandang. "Pintu apakah ini?" Mungkin begitulah pertanyaan yang mengusik benak kami pada waktu itu.
Ternyata benar, di dalam pintu kecil yang gelap tersebut ada beberapa takah anak tangga yang mengarah turun ke lantai bawah. Namun, sepertinya Pak Witan sedang berfeeling tidak baik. Itu dapat kulihat dengan jelas dari roman wajahnya. Beliau menyuruhku dan Mardian untuk mengambil lampu obor yang beliau selipkan di dinding lorong pertama, yang tadinya telah kami lewati.
Tidak berpikir panjang, kami pun segera bergegas untuk pergi mengambilnya.
Setelah keluar ruangan penjara, kami berdua terus berjalan, dan kemudian mulai berbelok memasuki lorong kecil yang ada di sebelah kiri kami. Kini kami tengah menempuh lorong kecil tersebut menggunakan senter yang menempel di kepala kami.
Sekitar 3 menit kemudian, kamipun berhasil sampai di ujung lorong. Kami langsung berbelok ke arah kanan untuk menuju ruangan pertama tempat kami turun dan masuk ke dalam ruangan tersebut. Kami belok kanan, dan jalan lorong yang panjang itupun sudah terlihat membentang. Aku dan Mardian terus berjalan untuk mengambil dua lampu obor yang terselip di dinding lorong.
Tak beberapa lama kemudian, kami pun sudah melihatnya. Obor itu masih terselip di dinding seperti sedia kala. Namun ada yang aneh.
"Mar, menurutmu ada yang aneh gak?" Begitu tanyaku padanya dengan nada setengah berbisik.
"Sstt.. diam Ray, ya aku juga tahu ada yang aneh, tapi jangan terlalu keras... Bukan kita aja yang berada dibdalam sini" Begitu kata Mardian padaku dengan tatap mata yang sedikit sipit.
Aku sempat bingung beberapa saat setelah mendengar katanya, bahwa bukan kita saja yang ada di bawah sini.terus siapa lagi? Begitulah tanyaku dalam hati. Namun aku memilih untuk melupakannya.
Obor yang pertama sudah kami ambil, dan kini kami sedang berjalan untuk mengambil obor yang kedua. Dan ternyata keadaan benar-benar semakin membingungkan. Kami berdua bahkan sempat saling tatap beberapa detik dengan ekspresi yang sama, yaitu bingung dalam keadaan menutup mulut.
Ternyata lampu obor yang kedua ini juga sama persis dengan lampu obor yang kami ambil di waktu pertama tadi. Lampu pertama dan kedua sama-sama padam. Aneh sekali menurut kami, padahal kami berada di ruangan bawah tanah, pasti tidak ada angin yang berhembus masuk. Terus, siapakah yang sengaja memadamkannya?
Itulah pertanyaan sedang aku pikirkan. Dan sepertinya aku mulai mengerti maksud dari kata Mardian, bahwa bukan kami saja yang berada di bawah sana. Sepertinya ada lagi Tuhan makhluk yang lain.
Ketika kami mulai berjalan kembali untuk menemui Pak Witan dan Logi, mendadak kami mendengar ada suara telapak kaki yang sedang berlari di belakang kami. Setelah kami menoleh kebelakang, ternyata kami tidak menemukan apapun di belakang kami, padahal suara itu terdengar jelas sekali, terdengar seperti orang yang berlari dari belakang menuju ke arah kami.
Bukan main kagetnya aku dan Mardian, pada waktu itu juga kami langsung bergegas pergi menuju ruangan penjara tempat Pak Witan dan Logi berada. Sebelum tiba di lorong, kami mencoba untuk tetap tenang dengan berjalan dengan santai. Padahal sekujur bulu romaku ini pada waktu itu sudah berdiri tegang. Kini, kami sudah melihat lorong kecil yang berada di samping kiri kami. Lorong kecil itu akan menghubungkan kami ke lorong yang tadi.
Sebelum kami berbelok ke arah kiri, ke arah lorong kecil tersebut, tiba-tiba kami mendengar suara teriakan yang amat keras. Dan setelah itu, suara tersebut diiikuti lagi oleh suara besi yang terhempas keras kepada besi yang lain. Tidak butuh aba-aba lagi, aku langsung berteriak memanggil Pak Witan dan Logi. Namun mereka tidak menjawabnya. Aku dan Mardian segera berlari ke sana untuk melihat apakah yang sedang terjadi.
Sebelum kami keluar dari lorong kecil tersebut untuk berbelok lagi ke samping kanan, mendadak tiba-tiba kami melihat ada seseorang yang berlari dari arah depan menuju ke arah kami. Aku sempat mengarahkan cahaya senterku ke arah orang tersebut, dan akupun dapat melihatnya, ternyata orang itu adalah Pak Witan.
Ilustrasi (Intersisinews.com)
"Ray! Mardian! Tolong Logi cepat! Makhluk itu membawa Logi ke ruangan bawah, cepat!" Begitu teriak pak Witan kepada kami. Setelah beliau melihat kami yang semakin dekat, lalu beliau berbalik lagi kebelakang untuk pergi ke tempat semula.
Aku dan Mardian langsung tancap gas. Sambil berteriak pula aku memanggil dan bertanya kepada beliau.
"Logi kenapa, Pak Wo! Apa yang terjadi?" Begitulah teriakku dengan suara yang tercekik sambil berlari. Namun beliau sudah terlebih dahulu berbelok ke arah kanan dan keluar dari lorong tersebut untuk pergi ke tempat ruangan penjara tadi.
Aku dan Mardian terus berlari, beberapa detik kemudian, kami pun sudah berhasil keluar dari lorong sempit itu, dan kemudian langsung pula berbelok ke samping kanan untuk mencari tahu apakah yang sedang terjadi di sana. Itulah yang membuatku bingung dan panik.
Setibanya di ruangan tersebut, Pak Witan sudah menunggu kami di depan pintu gelap, dan sepertinya beliau sedang menunggu kami dan bersiap-siap untuk segera masuk. Kini, kamipun sudah tiba di dekat beliau.
Aku dan Mardian masih tertekuk mengambil nafas, tersengal-sengal menangkan diri beberapa detik setelah cukup jauh berlari.
"Dimana Logi, Pak? Siapa yang membawanya?" Begitu tanyaku pada Pak Witan. Suaraku masih juga terdengar berat, karena nafasku belum juga begitu teratur.
"Makhluk itu membawanya ke bawah sana! Telunjuk Pak Witan menghadap kedalam lorong gelap tersebut.
"Makhluk itu besar sekali, Ray! Aku belum pernah melihatnya! Makhluk itu sangat menakutkan, Ray! Wajah Pak Witan terlihat berantakan. Sepertinya beliau masih panik dengan kejadian yang baru saja terjadi menimpa beliau dan Logi.
"Apakah dia setinggi ini, pak? Aku menunjuk dinding bagian atas ruangan dengan telunjuk.
"Iya, sekitar 2 meter lebih. Matanya merah, dan dia berbulu lebat, Ray. Dia juga bertanduk!" Nada suara Pak Witan terdengar masih panik.
Beliau bahkan menjawab pertanyaanku itu dengan suara yang setengah berteriak. Sebelum ini aku belum pernah melihat beliau panik seperti itu. Sepertinya makhluk yang beliau lihat itu adalah makhluk yang sama dengan makhluk yang mengejarku dua bulan yang lalu.
"Baiklah Pak, tenang dulu sebentar, Pak Wo" Begitu kata ku dan Mardian untuk menenangkan beliau. Dan kini, Pak Witan mulai menenangkan diri beliau.
Pad saat itu juga, tiba-tiba kami mendengar suara anjing yang menggonggong dari arah arah ruangan pertama. Sepertinya itu adalah suara anjing milik kakekku. Iya, benar, suara itu adalah suara si hitam" Begitu kataku dalam hati.
"Tapi bagaimana mungkin dia bisa masuk ke dalam ruangan bawah tanah ini? Bukankah itu terlalu tinggi untuk melompat? Begitu tanyaku singkat dalam hati. Entahlah, aku tidak tahu. Karena bagiku itu bukanlah suatu hal penting yang patut di pertanyakan. Karena situasi pada saat itu benar-benar dalam ke adaan gawat dan darurat.
Aku berjalan sedikit keluar ruangan penjara, dan kemudian mulai berteriak memanggil anjingku tersebut dengan panggilan yang biasa aku gunakan sewaktu memberinya makan.
Tiba-tiba suara gonggongan anjing tersebut langsung lenyap. Aku pun ikut diam beberapa detik untuk mendengarnya lebih jelas. Sedangkan Pak Witan dan Mardian masih bercakap-cakap mengenai kejadian tadi yang menimpa Logi.
Tak beberapa lama berselang, tiba-tiba suara si hitam terdengar kembali. Kali ini suaranya sudah semakin dekat. Aku menebaknya bahwa si hitam itu sedang berlari di lorong kecil untuk mencari asal suaraku. Aku kemudian kembali memanggilnya lagi. Dan ternyata benar, si hitam sudah muncul dan sedang berlari untuk menemuiku.
Kini si hitam sudah sampai di dekatku. Dia langsung menempelkan tubuhnya pada kakiku. Aku langsung mengelus kepalanya dengan pelan.
"Anjing pintar, aku merasa sedikit lega kalau kau ada bersama kami" begitu kataku sambil menegeluasnya. Dalam hati, aku masih bertanya-tanya dan tidak tahu, bagaimanakah caranya sihitam ini bisa masuk ke dalam sini? Entahlah, aku benar-benar tidak tahu.
"Ray, bagaimana mungkin anjing itu bisa turun ke sini?" Begitu tanya Mardian dengan nada yang sedikit bingung. Entahlah, aku hanya menggelengkan kepala menjawabnya. Sepertinya hal tersebut juga membuat Mardian menjadi bingung.
Lalu Pak Witan tiba-tiba memotong,
"Anjing itu adalah anjing yang paling hebat selama ini yang pernah aku temui. Dia bahkan sering melakukan hal-hal yang gila yang tidak mungkin dapat di lakukan oleh anjing-anjing yang lain" Begitu kata Pak Witan.
Setelah mendengar kata beliau tersebut, aku juga sedikit setuju, karena aku pernah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Kejadian itu terjadi dua bulan yang lalu. Anjing tersebut bahkan sampai berani menghadapi makhluk tersebut seorang diri untuk menyelamatkanku yang pada saat itu hampir berhasil lari untuk keluar melewati kebun karet. Aku bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku ini jika saja si hitam tidak kembali kebelakang untuk menjemputku, mungkin aku sudah tertangkap dan di cabik-cabik.
Pak Witan kembali berkata,
Anjing ini pernah menyelamatkan nyawaku. Ketika itu aku di serang oleh beruang madu di malam hari, tiba-tiba saja entah dari mana asalnya, anjing ini datang dan kemudian melompat ke punggung beruang, lalu menggigit beruang tersebut di bagian kuduk, sehingga aku pun berhasil lari dan menyelamatkan diriku. Pada saat itu juga, ayahmu datang dan kemudian menembak beruang itu hingga tewas"
Mendengar cerita Pak Witan, itu sepertinya membuatku merasa sedikit beruntung karena telah memilikinya.
Kembali pada cerita.
"Ayo kita masuk sekarang! Logi teman kalian itu pasti sedang dalam bahaya, ayo cepat! Begitu pekik pak Witan dengan nada panik. Dan beliau kini sudah mulai membungkuk untuk masuk ke dalam lubang tersebut.
Setelah itu, aku dan Logi pulalah yang menyusulnya dari belakang.
Ruangan itu terlihat sangat gelap, jika saja tidak ada cahaya senter kami, pasti kami tidak bisa melihat apapun. Di dalam sana sekitar 10 meter berjalan, di sana terdapat anak tangga yang mengarah turun ke ruangan bawah tanah. Tangga itu terlihat cukup panjang. Mungkin panjangnya sekitar 15 meter, kemudian berbelok lagi ke arah yang berlawan.
Pak Witan adalah orang yang pertama memimpin di depan. Beliau menggunakan lampu obor di tangan kiri, sementara tangan kanan memegang golok dengan sigap. Mardian berdiri tepat di belakang beliau, dia mengarahkan ujung senjata ke arah depan untuk berwaspada dan juga sekalian untuk menjaga keamanan Pak Witan dari belakang.
Ilustrasi (Hororllogi.id)
Kami sudah sampai di ujung tangga, ternyata benar, tangga itu berbelok lagi ke arah belakang kami (berlawanan). Pak Witan masih memimpin jalan dengan sangat hati-hati sekali. Aku menyuruh si hitam untuk maju ke depan Pak Witan, karena menurutku, dalam hal yang seperti ini, anjing lebih jago daripada manusia. Karena mereka punya penciuman dan pendengaran yang jauh lebih tajam.
Kini, kami mulai turun melewati anak tangga tersebut. Di sana, ruangan masih juga terlihat gelap. Sama persis seperti tangga yang baru saja kami lewati.
Ada yang menarik perhatian kami di ujung tangga tersebut. Di sana terlihat ada lagi sebuah ruangan ataupun jalan. Entahlah aku tidak tahu.
"Ya Tuhan, besar sekali bangunan ini. Tolong selamatkan temanku itu" Begitu gumamku denga nada cemas.
Kami terus mengikuti jalan yang menurun ke arah bawah untuk mencapai ruangan tersebut.
Kisah Misteri Hutan Karet bersambung....
Ilustrasi (TripAdvisor.id)