Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Ternyata yang dimaksud balai desa adalah pendopo di salah satu sudut halaman rumah almarhum Pak Wongso. Baru saat kerja bakti kemarin, ia menghibahkannya untuk Desa Cemara Timur.
Tidak cuma itu. Menurut satpamnya, dia juga menyerahkan hampir semua hartanya untuk pembangunan desa.
"Dia sudah tidak punya siapa-siapa, Mas. Cuma saya kerabat paling dekat. Jadi rumah ini pun dikasihkan ke saya. Kalau hewan-hewannya, mobil, pekarangan, sudah dihibahkan ke desa," ujar Pak Satpam. Pak Basit ikut mendengarkan dengan serius di sebelahku. Aku berpaling kepadanya.
"Jadi, Pak Basit ke mana saja selama ini?" tanyaku.
Dia memulai ceritanya pada 2008. Waktu itu, dia berguru kepada Pak Wongso untuk ikut mencecap kenikmatan pesugihan Buto Ijo. Awalnya sang penyuplai kekayaan hanya minta sesajen. Lalu ayam kampung. Lalu tembok bercat hijau. Lalu bangku-bangku di sudut rumah. Sampai akhirnya ia meminta tumbal nyawa.
Waktu Pak Basit berubah pikiran, semua sudah terlambat. Makhluk itu sudah memiliki jiwanya. Tak heran ia sering mengamuk dan memukuli anaknya sendiri. Puncaknya adalah dini hari di rumahku, ketika ia berusaha membunuh istrinya sendiri. Untungnya gagal karena ia keburu kejang dan pingsan.
Ilustrasi (Instagram @ardeks)
"Jadi kami pindah ke Jakarta, jauh-jauh dari desa ini. Tapi percuma, Mas. Saya malah koma, diopname," tuturnya.
Dalam komanya itu, Pak Basit merasa terperangkap dalam istana mengerikan di tengah hutan Cemara Timur. "Waktu saya ilang, Mas pernah doain saya ya?" katanya tiba-tiba.
"Umm..sepertinya begitu. Kenapa, Pak?"
"Itu membantu banget sih, Mas. Saya kayak liat cahaya. Setelah saya dekati, ada Mas di sana. Tapi sayangnya kaki saya dipegangi. Saya cuma bisa menggapai-gapai."
"Terus gimana Pak Basit bisa sembuh?"
"Ada cahaya-cahaya lain, dari Pak Wongso, istri saya, anak saya, Pak Satpam ini. Lama-lama semuanya menjadi terang, terus saya terbangun dari koma."
Untuk beberapa lama, kami bertiga termenung, berusaha mencerna pengalaman ganjil yang kami alami. Lamunanku buyar saat Pak RT datang dan berkata, "Ayo, kita mulai tahlilannya."
Setelah tahlilan, aku tidak pulang. Aku tidur di balai desa bersama beberapa warga, termasuk Pak Satpam dan Pak Basit. Pagi-pagi sekali, kami dibangunkan oleh Bu Rahmi yang membawakan kopi dan pisang goreng.
Sembari menunggu kopi menjadi lebih dingin, aku menanyakan bagaimana Pak Wongso meninggal kepada Pak Satpam.
"Sangat baik, Mas, sangat baik. Ini ajaib banget sih. Sepuluh tahun terakhir, selama saya ikut Pak Wongso, yang tercium dari rumah hijau itu adalah bau busuk entah dari mana. Asap kemenyan menyusup keluar dari sela-sela jendela setiap malam. Kadang-kadang terdengar suara geraman harimau atau semacamnya.
Sebenarnya saya tidak kerasan. Tetapi Pak Wongso sudah banyak bantu saya yang pengangguran ini. Nggak mungkin saya ninggalin dia sama makhluk-makhluk itu. Yang bisa saya lakukan cuma mendoakannya setiap hari.
Nggak sedikit pun saya menyangka dia bisa meninggal dengan begitu damai dalam tidurnya seperti yang kemarin terjadi. Tapi liat aja, bahkan dalam perjalanannya pulang, diiringi zikir puluhan orang. Juga sampai sekarang doa-doa masih dikirimkan. Padahal dulu nyebut nama Pak Wongso aja orang nggak berani.
Ilustrasi (Instagram @ardeks)
Bener-bener ya Mas, asalkan kita mau bertobat, pengampunan itu pasti diberikan oleh Yang di atas. Kadang-kadang saya malu sendiri, merasa nggak pantas dicintai sebesar ini."
Aku terpana terhadap bagaimana Pak Satpam memaknai kejadian ini dengan begitu bijak. Mungkin karena ia telah melihat dan mengalami banyak hal.
Setelah menghabiskan kopi, aku mohon pamit untuk pulang ke Jakarta. Dalam langkah di tengah hutan, bisikan-bisikan gaib itu tak lagi terdengar. Tergantikan cuitan burung gereja dan tonggeret.
Bangku-bangku hijau juga tak lagi di sana. Hanya ada rumput dan dedaunan yang masih hijau meski sudah memasuki kemarau.
Pohon-pohon besar seakan sengaja melebarkan sela-sela dedaunan, agar sinar mentari pagi bisa masuk dengan leluasa dan tak ada sudut gelap di tengah hutan. Sengaja kulambatkan langkahku untuk menikmati suasana ini. Aku merasa beruntung pernah tinggal di sini.
Cerita Hantu Bersambung: Petaka di Cemara Timur
(Tamat)
Ilustrasi (Instagram @ardeks)