Sedang hits nih cerita hantu bersambung yang judulnya "Petaka di Cemara Timur". Diketahui cerita ini berasal dari akun Instagra @ardeks yang sampai booming.
Oiya perlu diingat, Kisah dan foto ini berdasarkan 50% kejadian nyata, 30% fiksi, dan 20% asumsi. Demi menghormati privasi warga setempat, bagi yang tahu soal lokasi aslinya, mohon untuk tetap merahasiakannya ya.
Paginya, aku bergegas ke rumah Pak Wongso. Mobil-mobilnya rusak kejatuhan pohon. Beberapa kandang juga roboh. Kambing-kambingnya tak ada lagi di sana.
Kerusakan terparah ada di bagian belakang rumahnya. Tanah selebar 15 meter di belakang rumahnya longsor ke sungai. Akibatnya, sebagian fondasi hancur dan rumahnya jadi miring. Sang pemilik berdiri di tepi sungai itu.
"Assalamulaikum, Pak Wongso nggak kenapa-kenapa?" tanyaku.
"Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah, aman Mas. Cuma rusak ini aja," jawabnya.
"Cuma? Ini kan lumayan parah, Pak."
"Halah, ini kan cuma benda mati. Sudah konsekuensi. Memang sejak awal saya yang salah, tergiur pertolongan makhluk-makhluk itu, sampai mengorbankan orang-orang dekat. Mas masih inget teh yang dulu diminum?"
"Ya, kenapa, Pak?"
"Itu memang saya masukin logam, paku, beling. Jadi Mas sakit perut bukan karena nasi warteg. Memang saya yang bikin," katanya sambil menatap arus sungai.
"Benda-benda itu seharusnya bersarang di badan Mas sangat lama. Tapi entah gimana baru 5 menit langsung muntah, tanpa luka di tenggorokan. Mas sakti juga jangan-jangan? Hahaha!" lanjutnya. Aku meringis saja.
Ilustrasi (jatimnow.com)
"Bangku hijau itu juga, Mas. Saya bikin biar pasukan Buto Ijo bisa duduk di sana, punya singgasana sendiri. Tapi semua sudah berakhir. Dan inilah hasilnya," katanya menunjuk rumahnya yang miring.
"Nggak nyesel, Pak?"
"Ya nyesellah. Nyesel kenapa dulu melewati batas sampai sejauh ini. Tapi sudahlah, yang penting sekarang sudah selesai. Sudah selesai," sambil berkata begitu, ia mengajakku minum teh di teras.
"Nggak trauma kan, Mas? Hahaha!"
Aku ikut tergelak. "Enggaklah, Pak. Saya bangga bisa dijamu orang seberani Bapak. Butuh nyali besar untuk melepas ini semua."
"Hehe, boleh minta tolong satu lagi, Mas?" ujarnya.
"Apa itu, Pak?"
"Jadikan semua ini pelajaran buat yang lain. Tulis dan sebarkanlah kalau perlu. Biar saya jadi contoh buruk, asal yang lain nggak kayak saya," ujarnya sembari menepuk pundakku dan beranjak pergi.
Dari belakang, tubuhnya tampak semakin renta, tapi tak pernah kulihat rautnya sedamai ini.
Langit pagi ini sangat cerah. Beberapa gumpal awan hanya sanggup menutupi sebagian warna biru angkasa. Kondisi ini berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang sedang meratapi sesuatu.
Aku melangkah gontai bersama sekitar 70 orang lain. Langkah kami berdesak-desakan ketika sampai di pematang sawah yang tidak terlalu lebar. Kami berjalan menuju gapura berwarna oranye yang menjadi gerbang pemisah antara permukiman orang hidup dan persemayaman orang mati, sebuah kompleks pemakaman.
Di depanku, Pak RT berjalan berdampingan dengan anak dan istrinya. Dialah yang memberitahuku soal kabar ini. Dalam telepon subuh tadi, dia berujar pelan, "Mas, Pak Wongso udah nggak ada."
Aku begitu syok sampai harus memastikan apa arti dari frasa "nggak ada". Tentu saja yang dimaksudkan adalah meninggal. "Innalillahi wa innalillahi rojiun," kuucapkan meski setengah tak percaya.
Namun saat ini, aku melihat jasadnya dengan mata kepalaku sendiri. Dia yang tak sampai 24 jam lalu masih mengobrol soal pelajaran hidup, soal harta benda yang tak lagi penting, soal segala sesuatu yang sudah usai, kini benar-benar menyelesaikan misinya di dunia.
Seruan zikir dilantunkan di sepanjang jalan. Bersamaan itu pula, kilatan-kilatan memori muncul di pikiranku, dari perdebatan, obrolan, hingga bersatunya kami dalam doa. Ketika raganya memasuki liang lahat, kenangan itu terhenti, juga waktu. Tak sadar air mataku berlinang.
Semua orang tampak menggumamkan doa untuk mengiringi kepergian Pak Wongso. Sampai akhirnya satu per satu pulang ke rumahnya.
Ilustrasi (Suara Nusantara)
Di tengah kerumunan yang mulai sepi, kulihat beberapa sosok yang kukenal berdiri tepat di seberangku. Pak Basit dan keluarganya! Aku terlalu terlarut sampak tak menyadari kalau sedari tadi mereka ikut melayat.
Ketika aku dan Pak RT beranjak, mereka masih bersimpuh di sebelah makam. Aku pun menunggu mereka di gerbang oranye. Lima menit kemudian, Pak Basit dan keluarganya menghampiriku. Kami bersalaman dan beramah-tamah di situ.
"Kita ngobrol di balai desa yuk, Mas," kata Pak Basit seolah sudah memahami rasa penasaranku selama ini.
Kira-kira apa yang akan dikatakan oleh pak Basit ya padanya? Duh tunggu aja deh Cerita Hantu Bersambung: Petaka di Cemara Timur part selanjutnya. Part 15
Ilustrasi (Jawa Pos)