Seberapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menghabiskan sepiring nasi beserta lauk pauknya? 10 menit, 15 menit, hingga 30 menit? Kalian penasaran nggak waktu yang ideal untuk mengunyah makanan? Atau kalian bertanya-tanya apakah ada bedanya makan dalam waktu yang singkat dengan makan makanan secara pelan-pelan sehingga butuh waktu yang lama.
Beberapa dari kalian mungkin pernah mendengar, atau dalam kasus penulis datang dari ibu sendiri bahwa makan itu baiknya tak boleh berburu-buru. Masuk akal ketika makan tergesa-gesa bisa membuat kita tersedak yang tentunya membahayakan. Namun apakah makan pelan-pelan itu sebuah solusi? Atau sebenarnya hanya inversi yang dilebih-lebihkan.
Ditengah kehidupan yang semakin cepat ini, makan secara perlahan-lahan adalah suatu anomali. Kalau nggak ikut bergerak cepat kita bisa saja tergilas roda kehidupan tersebut, begitu mitosnya. Informasi berpindah dalam hitungan detik, logistik dikirim dari satu kota ke kota lain dalam hitungan hari, pesanan makanan cepat saji kalian terima dalam waktu yang tak kalah cepatnya. Hanya menteri zaman SBY yang menolak kecepatan. Katanya sih 'buat apa?'.
Pikir lebih jauh lagi, aspek kehidupan mana lagi pada saat ini yang tidak dilakukan dengan ekspres? Atau minimal disarankan untuk mengambil waktu seminimal mungkin. Kecuali dengan makan. Manusia beranggapan, dengan semua pengalaman yang sudah ada, bahwa makan menjadi satu-satunya hal di masa sekarang yang melawan arus dunia. Kunyah makananmu sebanyak 30-32 kali, nikmati setiap suapannya, minumlah seperti kamu akan mengalami musim kemarau tak berkesudahan.
Banyak tawaran faedah dari makan secara perlahan-lahan. Yang paling laku adalah pernyataan jika makan dengan pelan akan membantu program dietmu. Cara makan seperti ini akan membuatmu merasa lebih kenyang dengan porsi yang lebih sedikit. Tak sebanyak jumlah makanan yang kamu konsumsi ketika kamu makan secara cepat.
Penelitian membuktikan hal ini. Universitas Kyushu di Jepang melaporkan jika dari data 60.000 orang yang mereka teliti, 42% orang yang makan secara perlahan-lahan lebih bisa menghindari obesitas ketimbang yang makan secara cepat. Bahkan mereka yang makan dengan kecepatan normal 29% dapat menghindari masalah ini.
Partanyaanya adalah bagaimana kita bisa tahu kalau cara makan kita itu lambat atau cepat. Apakah ada standar tertentu bagaimana menghitung berapa lama makanan berdiam dalam mulut sebelum ditelan masuk ke saluran pencernaan.
Perkara ini bisa semakin jauh semisal jika kita berargumen 'bagaimana kalau cara menelan kita cepat cuma makannya kita sambi main sosmed sehingga kita butuh waktu 1 jam untuk menghabiskan seporsi nasi goreng?' apakah ini terhitung cepat atau lambat. Atau 'kita memang makannya lambat, tetapi kita tidak menikmanti makanan tersebut. Bukankah premis makan lambat adalah untuk menikmati setiap kunyahannya?'
Jika kalian berfokus pada kenikmatan, maka kalian sudah berada dalam jalur yang diridhoi oleh para ilmuwan. Memang benar pada dasarnya makan secara perlahan-lahan adalah salah satu teknik untuk menstimulus otak. Otak merasakan kepuasan meskipun porsi yang kita ambil belum seberapa banyak.
Penelitian dari Harvard menunjukan bahwa ketika kita memasukakan makanan kedalam saluran pencernaan kita, beberapa hormon seperti cholesystokinin (CCK) dan leptin dilepaskan untuk merespon makanan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa leptin merupakan hormon yang berkomunikasi dengan otak terkait kebutuhan tenaga jangka panjang berbasis cadangan yang sudah ada.
Leptin juga memperkuat sinyal CCK untuk meningkatkan perasaan kenyang. Penelitian lain menunjukkan bahwa leptin juga berinteraksi dengan neurotransmitter dopamine di otak yang dapat menghasilkan perasaan senang setelah makan. Dan setiap hormon ini membutuhkan waktu tertentu untuk bekerja. Tidak secara instan muncul saat makanan mulai menjamah isi perut. Biarkan para hormon ini berkomunikasi terlebih dahulu hingga efeknya bisa kalian rasakan. Jangan terburu-buru ditimpali makanan yang baru.
Makan pelan (rd.com)
Selain mengunyah dengan perlahan dan memberi jeda pada setiap suapannya. Ada beberapa cara lain untuk "menipu" otak kita untuk melepaskan hormon kepuasan karena kenyang. Semisal ketika kalian makan alih-alih sembari menatap layar ponsel untuk membaca grup chat, kalian fokus pada makanan yang kalian santap. Hal ini akan membuat otak kalian merasa puas dan kenyang.
Kalian juga bisa memilih makanan yang agak kerepotan untuk memakannya, seperti kuaci sebagai cemilan. Penelitian dari Scienceblog mengatakan bahwa memakan makanan yang ribet akan menurunkan kuantitas makanan yang masuk ke dalam perut. Hampir 41% lebih sedikit jika dibanding cemilan yang tinggal telan saja. Tentunya dengan tingkat kepuasan yang sama.
Makan adalah kegiatan yang kompleks, begitu juga dengan diet yang banyak sekali tantangannya. Kalian mungkin tertarik untuk mencoba makan dengan cara yang lebih pelan. Bagaimanapun orang makan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik saja. Karena ia berhubungan dengan kesenangan, makan dengan begitu juga kebutuhan psikis. Enjoy your food gengs!
(abcnews.com)