Lima mantan pemain Perserang Serang baru saja mendapatkan hukuman dari Komisi Disiplin (Komdis) PSSI setelah terlibat pengaturan skor pertandingan Liga 2. Kelima pemain itu adalah Eka Dwi Susanto, Fandi Edi, Ivan Julyandhi, Aray Suhendri, dan Ade Ivan Hafilah.
Dilansir dari Kompas.com, kelima nama pemain itu, Eka Dwi Susanto merupakan pemain yang mendapatkan hukuman terberat.
Pria berusia 26 tahun itu dihukum larangan beraktivitas di dunia sepak bola nasional, termasuk larangan memasuki stadion selama 5 tahun dengan tambahan denda Rp30 juta.
Eka bersama rekan-rekannya dihukum dan terkena denda berdasarkan Pasal 64 Kode Disiplin PSSI 2018 tentang korupsi atau suap.
Setelah dipecat dengan tidak terhormat sebelumnya, Eka dan keempat pemain lainnya juga dipecat secara bersamaan oleh manajemen Perserang pada 29 Oktober 2021. Menurut informasi yang beredar, keputusan itu diambil oleh pihak Perserang setelah menemukan bukti screenshot percakapan para pemain dengan pihak luar yang berkaitan dengan pengaturan skor.
Dugaan pengaturan skor itu muncul setelah Perserang kalah 1-4 dari Badak Lampung FC yang berlangsung di pekan kelima Grup B Liga 2, Senin (25/10/2021). Jauh sebelum ini, sepak bola Indonesia juga sempat beberapa kali diterjang skandal pengaturan skor.
Menurut pengamat sepak bola, Akmal Marhali, penyebab kasus pengaturan skor sepak bola di Indonesia terjadi karena adanya ruang.
Alasan mengapa kasus pengaturan skor di Indonesia masih terus terjadi (via kompas.com)
"Karena diberi celah untuk masuk. Pengaturan skor itu seperti narkoba. Candu. Ada peluang sedikit, maka para pencandu akan mengulanginya," ujar Akmal kepada Kompas.com, Kamis (4/11/2021).
Apalagi, kata Akmal, kalau ternyata "diizinkan" oleh pemilik rumah, dalam hal ini federasi sepak bola Indonesia, PSSI.
Menurutnya, diizinkan di sini dalam artian PSSI mengetahui adanya kasus pengaturan skor tersebut dan bersikap seakan tak peduli.
Alasan mengapa kasus pengaturan skor di Indonesia masih terus terjadi (via kompas.com)
Akmal juga mengatakan bahwa kasus seperti ini bisa terjadi karena adanya motif utama yakni uang.
"Match fixing bukan bagaimana timnya menang, tapi juga bagaimana timnya kalah. Tergantung pesanannya apa. Ujung-ujungnya uang, wani piro?," ungkap dia.
"Kalau ada cara mudah dapat duit, kenapa cari yang susah? Ini sudah bicara moralitas. Dan, karena selama ini tidak ada penanganan yang tegas akhirnya dianggap dibolehkan," imbuhnya
Lantas, bagaimana cara memeranginya?
Menurut Akmal, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Seperti yang dilakukan negara Victoria, dimana Kepolisian Australia memiliki unit khusus untuk menangani kasus pengaturan skor, bernama Sport Integrity Intelligence Unit.
Lalu di La Liga, Spanyol, mereka juga memiliki badan khusus dari kepolisian bernama Operasi Oikos untuk mengawal kompetisi antar mafia. Dan ada pula di Korea Selatan, yang memiliki sentra pelaporan di bawah Kementerian Olah Raga bernama The Sports Corruption Reporting Center.
"Olahraga kita butuh densus anti match fixing. Sambil DPR juga menyiapkan perangkat hukum agar pelaku kejahatan pengaturan skor mendapatkan hukuman berat karena jenisnya setara korupsi dan pembunuhan," kata Akmal.
"Kita kan baru bergerak kalau kasusnya ketahuan. Hukumannya pun serampangan. Hanya pemain. Tidak dilakukan pengusutan, penyelidikan, dan penyidikan secara mendalam untuk menemukan aktor intelektualnya.
“Kasus Perserang misalnya, jangan sampai putus di lima pemain. Mereka hanya wayang. Yang harus dikejar siapa dalangnya," sambung dia.
Alasan mengapa kasus pengaturan skor di Indonesia masih terus terjadi (via cnn.com)