Klitih menjadi istilah dari masa ke masa yang selalu memiliki stigma negatif. Dulu klitih identik dengan kegiatan keluyuran atau nongkrong bergerombol menghabiskan waktu, lalu klitih diidentikkan dengan kenakalan remaja khususnya tawuran antar sekolah atau antar kelompok. Kini klitih diidentikkan dengan aktivitas kriminal yang mengancam jiwa seseorang.
Di era 2010-an, klitih dilakukan oleh oknum pelajar sekolah atau oknum salah satu geng. Klitih dilakukan dengan melukai untuk memprovokasi sekolah atau geng musuh, jadi target klitih pada jaman itu jelas yaitu anggota geng musuh atau pelajar sekolah yang dianggap musuh. Kini fenomena klitih dilakukan secara brutal dan acak dengan tujuan yang juga tidak jelas.
Kasus klitih yang jadi pembicaraan nasional terjadi pada tahun 2018, kasus pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat namun mendapatkan puluhan jahitan. Kedua, pembacokan di dekat Mirota Kampus UGM yang menewaskan korban bernama Dwi Ramadhani Herlangga, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada.
https://radarjogja.jawapos.com/
Hukum di Indonesia memberikan perlindungan terhadap anak dari hukuman yang dinilai terlalu berat. Hal ini selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan, batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun.
Ketentuan tersebut menjadi bahan yang kontroversial. Sebab, kasus kriminal para anak-anak yang dikategorikan klitih saat ini tergolong berat yaitu membunuh.
https://persmaporos.com/