Sesuai judul di atas, beranak dalam kubur bersumber dari @RamaAtmaja3. Seperti apa? Skuy kita kepoin....
Namaku Wandi. Aku adalah seorang nelayan.
Belum satu tahun aku menikah dengan Imah dan sekarang dia sedang hamil besar.
Beberapa hari lagi aku akan pergi meninggalkannya melaut. Aku terpaksa meninggalkannya. Karena, tuntutan ekonomi.
Pagi ini cuaca begitu cerah. Dinginnya embun serta hawa yang sejuk membuat hatiku tenang.
Aku berdiri diluar sambil sedikit berolahraga untuk melemaskan otot-otot yang kencang.
"Mas. Ini kue, sama kopinya," ujar perempuan cantik dengan rambut agak ikal. Bermata bulat, berbulu mata lentik. Pipi sedikit tembem, hidung mungil dan bibir merah agak tebal.
"Iya, Dek. Terima kasih," ucapku dengan memberikan senyum.
Perempuan tersebut adalah Imah. Sekarang dia berumur 18 tahun. Sedangkan umurku sendiri 21 tahun.
Imah kembali masuk dan menuju dapur untuk memasak nasi. Perapian masih menggunakan kayu bakar yang diletakkan ditengah tumpukan batu bata.
Rumah kami masih berasalkan tanah, dindingnya terbuat dari bambu anyam. Susunan bambu membentuk persegi adalah tempat tidur yang kami gunakan.
Untuk mandi, kami biasa kesungai dan sesekali aku menimbah air dari sungai untuk dibawa pulang. Karena, tak mungkin istriku yang tengah hamil besar mandi di sana.
Dirasa sudah lelah, aku duduk dikursi yang terbuat dari bambu. Aku duduk diteras rumah sambil menyeruput kopi dan memakan kue.
Lalu lalang orang lewat didedapn rumah. Ada yang pergi ke pasar dan ada pula yang pergi bertani.
Ilustrasi (Medcom.id)
"Mas Wandi masih dirumah? Kapan berangkat Mas?" tanya Tarjo yang hendak pergi ke sawah.
"Nanti malam Jo,"
"Terus, yang jaga Imah dirumah, siapa Mas?"
"Gak perlu dijaga juga Jo. Dia kan, bukan anak kecil lagi!"
Tarjo pamit dan melangkahkan kakinya menuju sawah.
Matahari tak lagi menyinari. Lampu minyak sudah mulai dinyalakan dan diletakkan dibeberapa sudut ruangan.
Pukul 19.00. Pak Rano datang kerumah untuk menjemputku. Aku pamit sama Imah dan meninggalkan rumah. Jalan begitu gelap gulita. Karena belum ada listrik.
Bermodalkan kain, bambu dan minyak tanah (obor) yang sudah disulut api.
Kami berjalan menyusuri gelapnya malam.
Setibanya disungai. Terihat perahu yang ingin kami naiki. di atas perahu tersebut sudah ada beberapa orang yang menunggu.
Tali dilepas, kayu panjang ditancapkan kedasar sungai beberapa kali untuk mendorong perahu sampai ke muara.
Hamparan laut sudah terlihat. Layar pun mulai dibentangkan.
'wush,' suara angin berhembus. Mendorong layar sampai ketengah. Untungnya hari ini cerah. Bintang pun terlihat dengan jelas.
Hanya dari melihat bintang, kita bisa tahu di mana letak dan posisi kita berada. Bintang menjadi penuntun untuk kita bisa pulang dan pergi.
Perahu bergoyang begitu kencang, membuat Roni memuntahkan isi perutnya.
Maklum, baru pertama kali Roni berlayar.
Kita yang melihat Roni seperti itu langsung tertawa.
Roni disuruh tidur sama Pak Ardi yang memegang kendali perahu. Sebagian orang juga ada yang tertidur.
Mataku melihat air. Warnanya hijau menyala bila tersentuh oleh sesuatu. Aku melamunkan Imah dan tak sabar ingin cepat-cepat pulang.
Ilustrasi (Okezone.com)
"Wan, sebaiknya Kamu juga tidur. Biar besok pagi bisa bangun dengan segar," ujar Pak Ardi.
"Iya, Pak."
Aku mencoba berbaring. Sarung aku pakai untuk menutupi tubuh dari dingin.
matahari pagi mulai menyinari. Satu persatu dibangunkan sama Pak Ardi. Sebelum mulai menangkap ikan. Kita sarapan.
Beberapa bungkus roti dibagikan. Satu orang satu bungkus roti. Yeng berperan menjadi koki sudah menyipakan air teh yang masih panas.
Singkat cerita kita pulang membawa tangkapan yang lumayan. Aku langsung membayangkan betapa senangnya Imah menyambutku pulang.
Beberapa orang membawa ikan tangkapan kita untuk dilelangkan.
Bersambung....
Ilustrasi (Inews.id)