Sedih! Ayah dari Salah Satu Dokter Korban COVID-19 Menyesal Menyekolahkan Anaknya di Kedokteran

Sedih! Seorang Ayah Dokter Korban COVID-19 Menyesal Menyekolahkan Anaknya di Kedokteran

Sejak ditetapkannya Tanggap Darurat Bencana C0VID-19 beberapa bulan yang lalu. Hingga saat ini sudah ada lebih dari 100 dokter yang meninggal akibat terpapar virus COVID-19. Belum lagi yang dirawat intensif. Angka tersebut belum termasuk tenaga media lain seperti perawat dan pegawai rumah sakit.

Jumlah dokter yang meninggal akibat pandemi diumumkan oleh Ikatan Dokter Indonesia Senin, 31 Agustus 2020 yang lalu. 

Yang bikin tambah sedih, masih ada masyarakat yang menganggap bahwa tenaga medis memanfaatkan momen pandemi ini untuk mencari untung.

Salah seorang ayah dokter korban COVID-19 mengaku menyesali keputusannya membiarkan sang putri menjadi tenaga kesehatan. Anak semata wayangnya tersebut adalah salah satu korban yang berjuang di garda terdepan selama pandemi.

“Kalau tahu dia akan mati karena menjadi dokter, lebih baik dulu nggak akan kuizinkan kuliah,” ucapnya menyesal.

Karena banyaknya korban dokter dan tenaga medis, kini bahkan banyak orangtua yang melarang anaknya sekolah kedokteran atau menjadi tenaga kesehatan. Situasi dan ancaman virus COVID-19 membuat banyak orangtua takut kehilangan buah hatinya. Padahal dulu, bekerja di bidang kesehatan atau jadi dokter adalah profesi yang membanggakan.

Menjadi dokter khususnya, bukanlah cita-cita yang mudah dicapai. Kuliah butuh waktu yang lama, biayanya pun sangat mahal. Belum biaya hidup sehari-hari, biaya buku dan beli alat-alat kedokteran, buka klinik, dan sebagainya.

Tenaga medis yang kelelahan bekerja kemudian tidur seadanya dengan masih mengenakan APD (pikiran-rakyat.com)

Belum lagi jika sudah lulus dan bekerja. Banyak dokter juga tenaga medis lain yang harus bekerja ekstra. Bahkan lebih lama dari jam kerja pada umumnya karena memang dibutuhkan banyak orang. 

# Berbagai Tudingan Negatif Pada Para Tenaga Medis

Sudah pemerintahnya enggak serius mengendalikan penyebaran virus, tenaga medis masih harus menghadapi segala tudingan negatif. Ditambah risiko kematian yang terus membayangi pekerjaan mereka. 

Badan lelah karena kurang istirahat. Makan, minum, buang air juga tidak teratur karena harus selalu menggunakan APD lengkap. Kebanyakan dari mereka bahkan bekerja lebih dari jam kerja pada umumnya.

Para tenaga medis yang siap di garda terdepan (m.lampost.co)

Namun mirisnya, masih saja ada banyak orang yang menuduh mereka adalah antek WHO, serta menargetkan sejumlah kematian di Indonesia. Kebayang gak sih sedihnya perasaan mereka?

Banyak juga yang masih gak peduli dan menganggap remeh virus ini. Banyak yang tidak pakai masker ketika bepergian. Masih banyak yang suka kumpul-kumpul gak penting. Padahal nyata sekali bahwa korban terus berjatuhan. 

Coba aja deh sekarang, kalian bayangkan. Bagaimana kalau kalian ada di posisi mereka? Atau di posisi ayah dokter tadi. Yang kehilangan anak semata wayangnya gara-gara COVID-19. Masih mau abai? Gak takut kehilangan orang-orang tersayang? Tega melihat orang lain bersedih karena kehilangan orang terkasih?

Salah satu korban meninggal akibat COVID-19 (urbanasia.com)