Tidak lama kemudian, Pak Witan pun tiba dengan motor trailnya. Beliau tersenyum menyapaku dan juga teman-temanku. Kami berbicara beberapa hal tentang masa kecilku. Dan beliau juga bertanya tentang kabar ayahku.
Kata beliau, dulu ayahku adalah seorang pemburu babi yang handal. Dan ayahku juga pernah menyelamatkan nyawa pak Witan dari serangan beruang madu dengan golok, alhasil beruang itupun tewas di tempat ditebas oleh ayahku.
Benar-benar cerita yang luar biasa, karena aku belum pernah mendengar ayahku bercerita tentang berburu kepadaku. Kenapa ya? Apakah ayahku tidak mau aku mengikuti jejaknya menjadi tukang buru? Atau? Hmm entahlah, kenapa pula aku tiba-tiba memikirkan tentang hal tersebut.
Kembali ke cerita.
Malam telah tiba. Pak Witan pulang ke rumah beliau sebentar untuk menukar baju dan mengambil perlengkapan senjata.
Menurut cerita masyarakat setempat, akhir-akhir ini selama musim hujan tiba, sering terdengar suara aneh yang mengaum dari dalam kebun karet. Sakin parahnya lagi, sudah pernah ada kejadian seekor kerbau penduduk yang hilang, setelah beberapa hari dicari ternyata kerbau tersebut didapati sudah hancur dan dicabik-cabik di pinggiran sawah.
Salah satu warga juga pernah mengaku bertemu dengan makhluk tersebut di malam hari saat ia hendak pergi ke sumur, dan makhluk itu tengah asyik mengincar kambing miliknya. Namun makhluk itu terlihat takut dan berlari kedalam hutan kebun karet yang luasnya mungkin puluhan atau bahkan ratusan hektare. Aku tidak tahu pasti.
Kata nenekku, akhir-akhir ini kami sering mendengar anjing-anjing penjaga ladang ribut di sekeliling desa, sepertinya anjing-anjing tersebut sedang mengejar sesuatu. Namun kami tidak tahu pasti makhluk apakah itu.
Namun ada pula yang mengatakan bahwa makhluk itu tidak menyerang manusia, makhluk itu adalah salah satu jenis kera besar, namun mereka belum tahu pasti kera jenis apakah makhluk tersebut. Mendengar berbagai cerita tersebut, dua orang temanku ini bukannya takut akan tetapi malah semakin bersemangat dan tidak sabar untuk melihatnya secara langsung. Gila, nekat sekali mereka.
Beberapa menit telah berlalu, kini pak Witan telah kembali menggunakan motor trailnya. Kali ini beliau tidak sendirian, beliau juga membawa tiga ekor anjing jantan milik beliau. Akhirnya si hitam dan si kuning pun menemukan teman-teman mereka.
Selepas sholat isya berjama'ah, kami semua duduk di teras rumah kakek ku. Kami mengadakan sedikit diskusi kecil mengenai strategi kami di malam ini. Apakah kami harus mendirikan tenda langsung di ladang karet? Dan ataukah kami hanya menunggu di rumah kakek ku. Akhirnya kamipun sepakat, untuk malam pertama dan kedua, kami akan mencoba untuk menunggu di rumah kakekku.
Kami berbagi tugas, dua orang yang jaga di luar, dan dua orang tidur di kamar. Aku dan Logi adalah orang yang pertama tidur di kamar, sementara Pak Witan dan Mardian berjaga di luar.
Jam sudah menunjukkan pukul 21:06 malam. Aku mulai memejamkan mata, karena pukul 01:00 dini hari, giliran aku dan Logi lagi yang akan berjaga-jaga.
Di malam pertama itu, tidak ada yang mencurigakan. Semuanya terlihat biasa-biasa saja. Angin malam berhembus, kabut turun menyelimuti hutan dan desa, dan rintik hujan pun tidak kelihatan sama sekali. Nihil.
Berlanjut ke malam yang kedua.
Sesuai jadwal, aku dan Logi mengambil jatah istirahat terlebih dulu, sementara Pak Witan sama Mardian adalah orang yang pertama berjaga.
Jam telah menunjukkan pukul 01-00 dini hari, belum lewat satu menit pun Mardian kini sudah membangunkan kami tepat waktu. Aku dan Logi pun mulai berjaga-jaga sambil menyeduh kopi hangat.
Kami berbincang-bincang santai membicarakan makhluk tersebut di teras rumah. Sementara 5 ekor anjing milik Pak Witan dan Kakek ku asyik berbaring-baring di lantai teras.
Embun malam mulai turun perlahan berhembus ditiup angin. Kilatan cahaya petir di balik gunung seberang sana juga sudah mulai terlihat, namun tidak ada bintang yang nampak di langit, semuanya masih terlihat gelap, dan sepertinya sebentar lagi hujan akan segera tiba. Begitulah tebakanku.
Jam sudah mennujukkan pukul 02:35 dini hari. Renyai-renyai gerimis kecil sudah mulai jatuh terdengar lembut dengan perlahan menghantam atap seng rumah. Udara benar-benar terasa dingin. Logi bahkan sampai menaruh tangannya di dalam saku jacket.
Memecah keheningan, akupun kembali membuka pembicaraan.
"Gi, kamu tau gak apa yang bikin aku takut kepada makhluk tersebut?" Aku bertanya pada Logi.
Logi hanya menggelengkan kepala sembari memicingkan bibir, tidak tahu.
Ilustrasi (Jagergun.com)
"Makhluk itu menyeramkan. Dia punya dua taring yang panjang, bahunya berduri, kukunya panjang, dan lebih parah lagi kepalanya bertanduk seperti genderuwo yang terlihat di film horor."
"Aku heran, aku yang pernah ketemu dia aja takut, tapi kau sama Mardian malah gak sabar ingin melihatnya, kalian benar-benar gila, Gi" begitu kataku.
Logi malah tertawa kecil.
"Bukannya gitu Ray, kami juga punya rasa takut, tapi itulah pekerjaan kami anak Criptozology, meneliti keberadaan makhluk-makhluk aneh seperti yang kau ceritakan itu, Ray" begitu terang Logi padaku.
"Kalian salah Gi, Criptozology itu biasanya meneliti makhluk aneh yang nyata dan tidak kasat mata, nah makhluk yang aku lihat itu adalah makhluk yang tidak kasat mata, alias hantu atau jin seperti halnya gunderuwo!
"Ray, setelah mendengar cerita kau di kampus, kau mengatakan makhluk itu berlari mematahkan dahan-dahan pohon, dan setelah dipagi hari ketika di cek, ternyata dahan-dahan pohon itu benar-benar patah, berarti makhluk itu adalah makhluk nyata, dan bukan hantu atau sejenis gunderuwo yang kau ceritakan itu, mana ada hantu yang bisa mematahkan dahan pohon, Ray!
" Yah, sudahlah kalau kau masih bersikeras tidak mau kalah" Begitulah jawabku malas untuk memperpanjang perdebatan.
Malam kedua telah berakhir. Tetap saja tidak ada yang kami temukan. Nihil.
Berlanjut ke malam yang ketiga, semuanya masih terlihat kosong tanpa ada tanda-tanda yang kami temukan.
Di malam yang ke empat, Mardian sama Logi pun memutuskan untuk mendirikan tenda di dalam ladang karet. Yah mau tidak mau aku sama pak Witan harus ikut menemani mereka.
Malam telah tiba. Kami sudah mendirikan tenda semenjak sore tadi. Dan gilanya lagi, kami mendirikan tenda tepat di bawah pohon yang di naiki oleh makhluk itu saat ia mengejarku sekitar dua bulan yang lalu. Itu semua adalah idenya Mardian dan Logi. Benar-benar gila.
Di malam yang ke empat ini, seperti jadwal biasa, kami bergantian untuk berjaga.
Udara malam di kebun karet terasa dua kali lipat lebih dingin dari pada di rumah kakek. Aku bahkan sampai tidur dengan tubuh yang tertutup selimut dari kaki hingga kepala.
Waktu terus berlalu.
Dalam samar-samar, aku mendengar suara si hitam yang menyalak. Kulihat si hitam terus berlari ke dalam ladang karet, sementara aku dan si kuning terus memanggilnya untuk kembali, namun sib hitam tidak peduli. Dia terus berlari lebih jauh menembus kedalam ladang karet. Mau tidak mau, aku dan si kuning harus mengikutinya dari belakang untuk mengajak si hitam kembali.
Setelah jauh berlari menembus ladang karet, akhirnya aku pun menemukan si hitam sedang menyalak ke arah pohon besar. Aku perlahan menghampirinya, dan kemudian menangkap pundaknya. Kini aku sedang mengelus leher dan tengkuk si hitam untuk menenangkannya. Dan akupun berhasil. Akan tetapi si hitam malah menggali tanah dengan kakinya.
Aku terdiam dan langsung teringat dengan peristiwa di malam itu, si hitam persis sama melakukan hal yang sama, yaitu menggali tanah dengan ekor yang bergerak.
Aku bersiap-siap dengan golok ku, berdiri mengamati sekeliling. Anehnya, kini aku menemukan banyak sekali tulang-tulang binatang yang menempel di batang-batang pohon. Bulu kuduk ku mulai berdiri tegak. Aku benar-benar takut.
Kabut malam semakin menebal, daun-daunan terdengar risih saling bersentuhan tertiup angin.
Si kuning mulai menyalak, ia bahkan sampai berlari sekitar 5 meter di depanku. Si hitam juga sudah bangun dan melakukan hal yang sama. Sementara aku bersiap-siap dengan ketapel kakekku. Kali ini aku sengaja memilih batu-batu yang sebesar empat bola kelereng menjadi peluru ketapelku.
Aku sengaja memilih batu-batu yang agak tajam, batu-batu itu juga telah aku oleskan dengan Balsem dan cabe, biar nanti jika batu tersebut berhasil melukai makhluk tersebut, pasti lukanya itu akan terasa jauh lebih perih.
Kembali pada cerita.
Dalam samar-samarnya cahaya senterku itu, aku dapat melihat dan mendengar dengan jelas, pohon-pohon karet yang sebesar paha saling berjatuhan dan hancur.
Dua ekor anjing milik kakekku itu mulai ciut dan sedikit mundur untuk bertahan, sementara aku sudah siap dengan ketapelku dengan tarikan terkuat.
Muncullah makhluk itu dari balik gelap, kali ini ukurannya lebih besar dari yang kulihat sebelumnya.
Kepalanya bertanduk satu, berbulu lebat dan hitam. Aku benar-benar dapat melihatnya dengan jelas. Bahunya di penuhi duri-duri yang seukuran kelingking, dia berdiri menatapku. Tingginya hampir mencapai 3 meter.
Taringnya keluar dari bagian tepi mulutnya, tangannya berotot dan kekar dengan kuku-kuku yang panjang. Matanya merah menatapku dalam jarak 15 meter. Aku masih diam di tempat, bersiap-siap untuk lari setelah melepaskan peluru ketapelku ke bagian matanya yang menyala.
Dua ekor anjing kakekku perlahan mundur kebelakang untuk mendekatiku. Makhluk itu masih berdiri diam menentang cahaya senterku.
Nafasku tidak teratur, aku benar-benar takut. Dengan sisa- sisa keberanian yang masih ada, aku lepaskan tarikan ketapelku itu, dan peluru batuku pun berhasil mengenai matanya.
Makhluk itu memekik keras, dan langsung menghancurkan pohon-pohon yang ada di dekatnya hingga tumbang.
Aku langsung berlari untuk menyelamatkan diri. Menempuh padang semak yang kadang menahan cahaya senterku.
Ilustrasi (Tribunnews.com)
Makhluk itu terus mengejarku dari belakang dengan suara yang ganas bagai halilintar, aku semakin cepat berlari hingga tidak sadar ketapel di tanganku telah jatuh.
"Rayhan!" Suara Logi terdengar memanggilku sekitar 40 meter di depan. Aku terus berlari tidak peduli lagi dengan si hitam dan kuning yang berlari.
Makhluk itu terus mengeram dari belakang, suara langkah kakinya menyentuh tanah terdengar seperti suara orang yang menepuk lantai papan dengan keras.
Kakiku tersandung lagi ke pohon. Aku menjerit keras kesakitan. Aku tidak mampu lagi berlari. Kayu runcing sudah terbenam di betisku. Darah beraimbah ruah. Aku jatuh ke tanah dalam kondisi yang tidak berdaya.
Tiba-tiba pak Witan, Mardian dan Logi muncul entah darimana, mereka membawaku berlari menuju tenda. Disana ada api unggun yang sedang menyala terang.
Ayo cepat! Makhluk itu datang! Aku menjerit sambil menoleh ke belakang.
Cepat! Cepat! Tolong Aku!
Aku berteriak histeris...
Ilustrasi (Suara.com)