Klitih Jogja Makin Mencekam, Ternyata Alasannya Karena Ini

Belakangan ini Twitter ramai-ramai membicarakan klitih jogja sampai jadi tranding. Sebenarnya apa sih yang mendasari mereka melakukan begituan? Begini penjelasannya.

Beberapa hari ini kembali lagi ada aksi takterpuji "Klitih" yang bikin Daerah Istimewa Yogyakarta tak aman dan bikin masyarakat resah.

Merebaknya fenomena klitih sampai mendesak Polda DIY menggelar Focus Group Discussion (FGD), hari ini, Selasa 4 Februari di Gedung Aston Soedjarwo. Dikutip dari situs resmi Polda DIY, forum yang diinisiasi oleh Ditbinmas Polda DIY dihadiri sekitar 179 orang yang terdiri dari narasumber dan peserta baik dari personel kepolisian maupun instansi lain.

Dari kegiatan FGD tersebut diharapkan muncul ide-ide atau masukan terkait penanganan kejahatan jalanan atau klitih. Sehingga fenomena klitih dapat ditekan seminimal mungkin demi terciptanya Yogyakarta yang aman, nyaman dan kondusif. 

Sejarah klitih

Menurut Ahmad Fuadi dkk dalam Faktor-faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), klitih mulanya hanya diartikan sebagai sebuah kegiatan jalan-jalan biasa yang dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Nglitih atau klitih dalam konteks kenakalan remaja adalah berkeliling dengan menggunakan kendaraan yang dilakukan sekelompok oknum kelompok pelajar dengan maksud mencari pelajar sekolah lain yang dianggap sebagai musuh. Klitih juga bisa diasumsikan sebagai mengitari kota tanpa tujuan.

Bila ditelusuri kapan pertama kali perkara klitih ada, menurut arsip Harian Kompas kejadian kriminal yang melibatkan remaja itu sudah muncul pada tahun 1990-an. 

Ilustrasi (Media Indonesia)

Harian Kompas mencatat pada 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja di Yogyakarta. Pihak Polwil mengklaim sudah memiliki informasi soal keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan aksi kejahatan di Yogyakarta. 

Kemudian pada tahun 2000-an, fenomena tawuran mulai menjamur di Yogyakarta. Sampai-sampai membuat Wali Kota Yogyakarta saat itu Herry Zudianto geram.

Herry mengancam bila ada pelajar di sana yang terlibat tawuran maka akan dipulangkan ke orang tuanya, atau dikeluarkan sekalian. Imbauan itu sempat dinilai berhasil mengurangi aksi kekerasan remaja. 

Berkurangnya para pelajar yang keluyuran, membuat geng-geng pelajar lain yang nekat mencari keributan sulit mencari musuh. Dari situlah mereka kemudian melakukan kegiatan mencari musuh dengan mengelilingi kota secara acak.  

Yang selalu jadi pertanyaan, kenapa pelaku-pelakunya tu masih remaja, apa sih alasan mereka jadi klitih Jogja, dan kali ini Paragram akan mencoba menjawab.

Klitih (rapormerah.co)

Alasan melakukan klitih Jogja

Menurut Sosiolog Kriminalitas, Universitas Gajah Mada (UGM) , Soeprapto menyebutkan kekerasan remaja terjadi karena pengaruh lingkungan sosial yang salah. Berikut ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena klitih yaitu:

- Ada pengaruh kuat kelompok sepermainan atau 'peer group' ke arah perilaku kekerasan

- Tindakan kekerasan itu muncul disebabkan kurangnya penanaman nilai budaya dan norma sosial.

- Mereka tidak dapat membedakan perilaku yang baik dan perilaku yang buruk dan harus dihindari.

- Penanaman nilai-nilai keagamaan hanya sampai pada sosialisasi, belum sampai ke internalisasi atau penghayatan.

- Adanya pengaruh dari motor penggerak, misal kakak kelas dan alumni.

- Menunjukkan eksistensi diri agar keberadaannya diakui.

- Ada yang memanfaatkan keadaan psikologis remaja yang sedang berada dalam masa transisi biologis dan sosial.

8. Rata-rata seseorang yang gemar melakukan kekerasan memiliki kualitas kecerdasan emosional (EQ) hanya pada level pertama yakni memahami diri sendiri, belum sampai level kedua mampu mengendalikan diri.  Apalagi level tiga, memahami orang lain, dan level empat, mengendalikan orang lain.

Gils banget an, hanya karena itu sampai tega merenggut dan melukai orang-orang. Ini menjadi hal yang wajib banget diperhatikan bagi seluruh jajaran masyarakat, orangtua dan guru, semoga segera teratasi yach klitih Jogja ini.

Alasan (netralnews.com)